Kesulitan Penelitian Jawa Kuno
P.J. Zoetmulder |
Sedikitnya
sumber dan tidak memadainya sumber merupakan kesulitan utama yang dihadapi para
peneliti Jawa Kuno terlebih terkait dunia kesusastraan. Keterangan tentang
dunia kesusastraan tidak ditemukan dalam prasasti-prasasti, sedangkan pada
naskah jumlahnya sangat terbatas. Untuk melakukan penelitian Jawa Kuno kerap
menggunakan metoda perbandingan dengan dunia kesusastraan di Bali.
Bali
merupakan daerah sisa-sisa kebudayaan masa Jawa Kuno yang masih dipertahankan
hingga kini. Meski demikian, metode ini masih sangat bias karena tidak ada
jaminan sedikit pun bahwa apa yang terjadi pada masa Jawa Kuno sama persis
dengan apa yang terjadi sekarang di Bali. Ada dua sumber yang dapat diandalkan
untuk dilakukan penelitian yaitu relief pada candi, dan informasi mengenai
metode penulisan pada suatu karya sastra.
Dewasa ini di Bali, media untuk
mendapatkan data dalam teks-teks bali menggunakan material daun-daun palma,
atau lebih dikenal dengan istilah lontar atau rontal. Sayangnya dalam
kesusastraan Jawa kuno istilah rontal tidak terkait dengan istilah rontal pada
masa kini di Bali. Kata tal dalam teks-teks Jawa Kuno paling awal diartikan
sebagai nama sebatang pohon. Akan tetapi dalam karya Korawasrama istilah tal
ditambahkan kata godong didepannya sehingga jelas menggambarkan suatu jenis
daun.
Hasil Transliterasi dari Buku Kalangwan Versi Bahasa Inggris Oleh P.J. Zoetmulder dengan Subjudul: Penyair, Syair, dan Puisi
kenapa harus bali? jogja n solo yg sekarang jd ikon keraton apa g memadai info sejarah n peninggalannya?
ReplyDeletekarena Bali merupakan representasi kebudayaan Jawa Kuno. Sejarah mencatat masa Majapahit akhir sekitar abad ke 15 bermigrasi dari tanah Jawa menuju pulau Bali karena mulai masuknya islam di pesisir Jawa terutama Demak. Akibat desakan ini, majapahit kemudian melanjutkan kebudayaannya di Bali. Maka dari itu orang Bali kebanyakan Hindu. Jadi bisa diasumsikan bahwa Jawa Kuno sama dengan Bali (meski terdapat perbedaan-perbedaan akibat local genius)
ReplyDeletesaya jg berpikiran seperti itu, tetapi saya selalu terusik ingin bukti yang valid adanya migrasi penduduk majapahit ke Bali pada akhir2 masa majapahit.......
Deletekalau bukti, bisa dilihat dari kemiripan naskah-naskah kuno karya Bali dengan karya Majapahit. Buku Zoetmulder ini sudah sangat jelas membahas itu. Kalo untuk migrasinya secara pasti sulit dibuktikan. Mungkin bisa juga baca buku-buku arkeologi tulisan Agus Aris Munandar.
Deletekenapa di bali tidak ada candi yg sebesar atau seluas prambanan atau borobudur dalam satu tempat di sana?
ReplyDeleteSaya juga belum tau secara pasti mengapa di Bali tidak ada candi yang besar seperti borobudur. Akan tetapi ada kemungkinan tradisi candi ini telah berubah. Kebudayaan itu selalu dinamis, mungkin ada perubahan pandangan tentang konsep bangunan suci semacam candi. Namun yang jelas, tradisi arsitektur bangunan suci diteruskan dengan tradisi Pura (tempat ibadah agama Hindu). Setidaknya beberapa pura kuno di Bali dibangun pasca runtuhnya Majapahit. Hal ini dimungkinkan pula karena perbedaan lokal genius tadi.
ReplyDeletejangankan di Bali, di Jatim aja tak ada bangunan megah seperti di jateng. mungkin masalah trend aja ya...mungkin pada masa2 kerajaan Mataram Kuno Trendnya bangunan dg konsep megah......krn kalau dibandingkan antara majapahit dg matara kuno, masih besar kerajaan majapahit. tapi knp masa majapahit candi2 yg ada di jatim jg kecil2
ReplyDeleteKalau itu benar juga istilah sekarangnya "trend". Nah, trend ini kan dilatarbelakangi konsep pikir yang berbeda. Kita bisa lihat latar belakang religi Mataram Kuno itu kan "Budha" siwa kalau ga salah, sementara majapahit Hindu. Nah, konsep pikir yang beda itu juga yang berpengaruh pada wujud fisik bangunan
Delete