Kearifan dan Ketidakarifan Lokal dalam Tradisi Garebeg

Tradisi Garebeg
Kearifan dan ketidakarifan dalam budaya hadir secara berdampingan. Saya memberikan contoh kasus untuk menjelaskan hal ini adalah tradisi garebeg dalam masyarakat Jawa lingkungan keraton baik Surakarta maupun Yogyakarta. Tradisi garebeg dilakukan dalam rangka peringatan hari besar Islam, seperti perayaan 1 Muharram dan 1 Syawal. Tradisi yang sudah ada sejak masa Islam ini berwujud arak-arakan beberapa gunungan yang berisi jajanan pasar maupun hasil bumi untuk kemudian diperebutkan para warga sebagai sarana ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. 

Tradisi semacam ini memiliki esensi yang sangat luhur dan sarat makna. Inilah yang menjadi kearifan dan patut diteladani. Tradisi garebeg mengingatkan manusia atas karunia yang telah Tuhan berikan kepadanya. Kita diajarkan untuk selalu bersyukur atas segala nikmat.  Dengan cara arak-arakan, terjadi interaksi sosial antara lingkungan keraton, dan masyarakat biasa yang sulit ditemui pada momen lain. Masyarakat saling berbaur tak memandang kelas sosial. Itulah kearifan yang ada dalam tradisi garebeg. 

Namun, ketidakarifan juga menyertai dalam tradisi ini. Tradisi yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan ini pun jadi salah kaprah. Masyarakat berbondong-bondong berdesak-desak memperebutkan gunungan. Saling dorong, injak-injakan, serta kericuhan menjadi suatu hal yang dihalalkan. Tidak ada antrian, tidak ada ketertiban, justru dianggap menyenangkan oleh sebagian orang. Tidak hanya itu, esensi utama kadang-kadang tidak mengena. Gunungan yang diperubutkan justru dianggap berkah, bahkan kerap kali justru bertentangan dengan ajaran agama Islam tentang keimanan. Masyarakat malah meyakini bahwa dengan memakan hasil garebeg bisa membawa berkah yang seakan-akan melebihi Kuasa Tuhan.

Comments

Popular posts from this blog

Rute Angkutan Umum di Cinere

Perjalanan Sehari Jakarta - Kawah Putih Naik Motor

Transportasi dari Jakarta ke Pos Pendakian Gunung Sindoro-Sumbing, Wonosobo