Pendakian Gunung Paseban Megamendung (Bagian Kedua)

(Sambungan)

Selepas melewati sungai berbatu, kami kemudian memasuki rimbunnya hutan. Ada jalan setapak yang menjadi patokan kami melangkah. Bang Wono berada di posisi depan sebagai leader. Tugasnya adalah membabad berbagai tanaman atau benda apapun yang menutupi jalan. Mula-mula kami menemui kubangan lumpur yang merepotkan. Lebarnya sekitar 3 meter dengan panjang sekitar 8 meter. Mau tidak mau kami harus melintasi kubangan lumpur itu. Pijakan kami pun terjelembab ke dalam lumpur hampir mencapai betis. Untuk menangani masalah itu, beberapa batang tanaman ditebangi untuk dijadikan sebagai pijakan. 

Usai melewati kubangan lumpur jalan setapak ini pun terbelah menjadi dua cabang. Tidak ada pertanda yang jelas, jalan mana yang benar. Oleh karena itu, bang Irsyad selaku anggota yang paling senior sejenak berhenti dan berusaha memastikan ingatannya. Bang Wono diperintahkan untuk mengecek jalan yang berbelok ke kiri. Saya dan Andra turut membantu mengecek jalan yang lurus. Hasilnya, kedua jalan ini sepertinya sama-sama benar, tidak jelas mana yang paling benar. Bang Irsyad pun memberi intruksi kepada kami untuk memilih jalan yang lurus. Meskipun ia yakin, jalan ke kiri adalah jalan yang sebenarnya, namun ia agak penasaran akan kemana jalan yang lurus. Oleh karena itu, kami patut mencoba jalan yang lurus. 

Jalan yang lurus mengarahkan kami pada posisin yang datar. Tidak ada tanjakan maupun turunan yang berarti. Sepanjang penyusuran kami terus mendengar suara gemericik air yang menandakan daerah sekitar kami diliputi oleh aliran air, mungkin sungai. Benar saja, tak jauh melangkah kami menemukan sungai kecil dengan air yang jernih. Kami menghentikan perjalanan. Di sini kami menemukan sebuah bivak alam yang kelihatannya belum lama ditinggalkan. Mungkin ini bekas para peladang. Bang Irsyad tampaknya haus dan minum air sungai langsung yang masih segar itu. Nuansa kesegaran alam hutan gunung Paseban, Megamendung, Jawa Barat ini benar-benar menyegarkan pikiran kami. Setelah nafas mulai terkendali, kami kembali melanjutkan perjalanan. 

Tanjakan segera menyambut kami. Sisi kiri dn kanan jalan ditutupi semak belukar dan pohon-pohon hutan tropis yang tidak begitu tinggi. Jalan memang agak basah dan lembab, tapi tidak menyurutkan langkah kami untuk terus menanjak. Kali ini tanjakannya cukup curam. Deru langkah beradu dengan desah nafas yang tersengal. Tanjakan melipir ke kiri dan ke kanan bukit. Pohon-pohon tinggi menyertai langkah kami. Saya dan Andra bertugas memasang stringline, atau kawat penunjuk jalan untuk menandai jalur pendakian. Stringline dipasang ditempat-tempat strategis seperti dipersimpangan jalan dan daerah yang terlalu rimbun. Petunjuk ini yang akan membantu pada saat Diklatsar yang sesungguhnya.

Kami kembali menemukan percabangan yang tidak jelas. Kami menghentikan perjalanan. Bang Wono akan membuka jalan terlebih dahulu. Kami masih menunggu. Bang Wono selesai ia turut beristirahat kembali. Jam menunjukan pukul sepuluh pagi. Bang Irsyad membuka tas dengan isi rujak jambu air dan alpukat dari rumah Pak Eman. Aah segarnya... Saat asik menyantap tiba-tiba saya melihat binatang kecil menggeliat di baju Andra. Sontak ia kaget. Saya pikir itu ulat kecil tapi kok elastis dan lengket. Sulit sekali menyentilnya. Warnanya hijau panjangnya sekita 3 cm jalannya menggeliat entah mana kepala dan buntutnya karena mirip. Belum sempat kami memahami, bang wono dan Irsyad melihat tingkah kami dan turut melihat badannya. Ternyata di baju mereka juga ada binatang yang menempel sama persis.

Pacet
"Pacet... pacet....!" ujar bang Wono. Oh... Ternyata binatang ini yang disebut pacet. Geli melihatnya bentuk tubuhnya. Mereka senang menempel pada tubuh manusia maupun binatang lain, untuk menghisap darah. Mengerikan sekali bukan? Kami pun jadi paranoid. Jangan-jangan binatang ini sudah ada di badan kami. Kami segera mengecek di sekitar kaki, perut, dan anggota tubuh lainnya. Benar saja, ternyata bang Wono sudah berdarah. Seekor pacet ditemukan menempel di perutnya. Iya segera mencabut pacet itu. kalau sudah gemuk badannya, pacet lebih mudah dicabut, tapi agak menjijikan bentuknya. 

Heboh pacet diakhiri. Meski selanjutnya jadi paranoid, langkah kami justru makin cepat menghindari pacet yang menempel. Mata saya pun jadi lebih awas memeriksa sepatu, kaus kaki, dan celana dari pacet. Untung saya pakai celana pendek, jadi mudah terlihat kalau ada yang menempel. Hanya saja, ketakutan saya muncul kalau-kalau pacetnya masuk ke celana dalam. Repot sekali itu.

Setelah melewati rimbunan pepohonan dan tanjakan yang cukup panjang, langkah kami terhenti di sebuah areal hutan yang terbuka. Di sini, terdapat  gundukan-gundukan tanah serta bekas potongan kayu dan arang. Sepertinya ini adalah tempat para peladang membuat ladang. Pohon-pohon ditebang, kayunya dibuat arang dan dijual. Kondisi alam pada areal ini  cukup memprihatinkan. Di tengah hutan yang lebat, ternyata ditemui kegundulan yang disebabkan oleh prilaku masyarakat yang kurang bijak. Areal bekas pembuatan arang ini cukup luas, bahkan kami bisa memandang desa paseban dari tempat ini.

.......(Bersambung)........






Comments

Popular posts from this blog

Rute Angkutan Umum di Cinere

Perjalanan Sehari Jakarta - Kawah Putih Naik Motor

Transportasi dari Jakarta ke Pos Pendakian Gunung Sindoro-Sumbing, Wonosobo