Mengenal Wahyu Zuli Firmanto


Wahyu Zuli Firmanto di Asrama UI
Pada kesempatan ini, saya hendak memperkenalkan Wahyu Zuli Firmanto, salah seorang sahabat saya. Saya menulis tentang dia tanpa bermaksud apa-apa, bukan pula karena saya homo, tetapi ada hal-hal yang menarik dari seorang Wahyu Zuli Firmanto yang dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Untuk mengetahui siapa Wahyu Zuli Firmanto, saya akan memulainya sejak saya mengenal dia sekitar tahun 2010 silam. 

Pertama kali saya mengenal seorang Wahyu Zuli Firmanto, pada masa awal-awal penerimaan mahasiswa baru. Kami merupakan mahasiswa baru Universitas Indonesia jurusan Sastra Jawa yang baru saja diterima saat itu. Pada suatu pagi di bulan Juli tahun 2010 itu, kami di-sms oleh salah satu teman sejurusan untuk datang di perpustakaan FIB UI dalam rangka silaturrahmi perkenalan. Saya datang sendirian dan menemui beberapa rekan mahasiswa baru lainnya. Di sana kami saling berkenalan satu sama lain, salah satunya Wahyu Zuli Firmanto. Anak yang terlahir tanggal 24 April 1993 ini memperkenalkan dirinya dengan panggilan Wahyu. 

Saat pertama kali mengenalnya, dia merupakan cowok yang ganteng, manis, dan saya pikir dia adalah musuh dalam pertarungan masa selanjutnya menaklukan wanita-wanita di kampus. Parasnya yang cukup menarik perhatian wanita itu turut didukung oleh cara dia berbicara. Sebagai seorang asli Jawa dan baru kali itu dia tinggal di Jakarta, tampaknya dia orang yang lemah lembut sekaligus lugu. Pertanyaan yang muncul pada saat itu tidak lain tentang asal usulnya dari mana. Memang tampak jelas dia ini orang Jawa, tetapi saya belum tahu dari mana asalnya. Pada saat itu dia hanya bilang bahwa dia berasal dari tempat yang sama dengan Zenny Rahmawati dan Norma Rizkiananingrum, temannya yang juga di Sastra Jawa. 

"Kami bertiga berasal dari Jawa Timur, tepatnya di kota Kediri," begitu penjelasannya. Oh, rupanya dia ini orang Jawa Timuran. Saya tidak menanyakan alamatnya secara lengkap. Belakangan yang saya ketahui, Wahyu tinggal di Dusun Kaotan, Desa Semen, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri Jawa Timur. Pertemuan kami saat itu rupanya hanya sebentar, tiba-tiba Zenny muncul dan mengajak Wahyu ke lantai atas untuk melihat-lihat buku. 

Setelah itu, saya menanyakan Rara, salah seorang teman saya sekaligus teman yang cukup dekat dengan Zenny. Rara bilang, Wahyu itu pacarnya Zenny. Dengan demikian, kesan pertama yang muncul pada saat itu sirna sudah. Ternyata Wahyu sudah punya pacar. Jadi, tidak akan ada persaingan mencari pacar pada saat selanjutnya. Saya pun bebas tanpa persaingan yang ketat. Yes!

Masa-masa awal kuliah, saya tidak begitu dekat dengan Wahyu, namun komunikasi sesama rekan mahasiswa sejurusan berjalan baik. Wahyu kebetulan tinggal di Asrama UI, Depok. Pada saat pulang kemalaman, ada kegiatan, atau sekedar bersenang-senang bersama teman, saya sering menyempatkan diri menginap di asrama. Di asrama dia tidak sendirian. Ia ditemani salah seorang teman yang berasal dari Kediri juga bernama Jaka, seorang mahasiswa jurusan fisika, fakultas MIPA, UI. 

Wahyu, sekitar tahun 2011
Di asrama saya, Wahyu dan rekan-rekan mahasiswa lainnya sering berbahagia bersama-sama. Main gitar, ngobrol, dan melamun itulah kegiatan kami waktu itu. Anehnya, mereka berdua ini senantiasa menerima semua teman yang hendak mampir ke kamarnya, meskipun hal tersebut cukup mengganggunya. Dalam hal ini, wahyu memang orang yang pasrah dan tidak bisa menolak.

Pada suatu hari, dalam rangka mencari uang tambahan untuk mengadakan suatu kegiatan, kami pergi mengamen bersama rekan-rekan mahasiswa yang lain. Kami mengamen di jalan Pecenongan, Jakarta Pusat. Masing-masing memiliki tugas. Kebetulan saya kebagian menggenjreng gitar bersama Dwi dan Tera bergantian, sementara itu Wahyu hanya mendapat tugas sebagai orang yang membuka penampilan, menutup penampilan, dan memintai uang para tamu warung makan di sana. Wajar saja, hal tersebut lantaran wahyu tidak bisa menyanyi dan tidak bisa main gitar. Paling-paling dia membantu tugas mengecrek. Kasihan memang, tapi Wahyu termasuk orang yang tabah. 

Menjadi seorang pembuka bukanlah hal mudah. Dialah orang pertama yang menjadi sorotan tamu pertama kali. tentu saja ada rasa malu yang muncul. Untung saja, Wahyu orang yang cuek. Dia tidak perduli apa kata orang. Dengan percaya diri dia berani berkata-kata di depan para tamu. Meskipun suaranya nyaring seperti kaleng rombeng, dia tetap tebal muka. Baginya, yang penting dia bisa membantu rekan-rekannya menjalani tugas ini sekalipun dia harus menjadi korban.  

Pada saat kami mengelilingi kawasan wisata kuliner Pecenongan, tiba-tiba muncullah preman yang biasa memegang kawasan ini. Kami diberhentikan dan ditegur dengan nada yang cukup tinggi. Tera berusaha memberi penjelasan kepada para preman. Sementara itu, Wahyu malah ikut-ikutan. Dia berusaha menengahi perkara itu, hingga akhirnya terdapat penyelesaian untuk mengatasi masalah izin mengamen di wilayah itu. Kami di minta untuk membayar seribu rupiah perorang untuk kas paguyuban  pengamen di wilayah itu. Terkait masalah ngamen ini, Wahyu merupakan sosok penengah di antara kami.

-------Bersambung------



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Rute Angkutan Umum di Cinere

Perjalanan Sehari Jakarta - Kawah Putih Naik Motor

Transportasi dari Jakarta ke Pos Pendakian Gunung Sindoro-Sumbing, Wonosobo