Simbolisme Ruwatan di Kampus UI

Ruwatan dan Kisruh UI
Manusia dalam menghadapi kehidupannya, akan menemui pelbagai masalah. Ketika suatu masalah yang dihadapi manusia berlangsung di luar nalarnya, manusia mulai memikirkan hal-hal yang sifatnya irrasional. Pemikiran irrasional itu kemudian kerap diejawantahkan menjadi tindakan-tindakan religius. Apabila hal tersebut berlangsung secara terus-menerus, tindakan-tindakan tersebut berubah menjadi suatu tradisi.
Kebuntuan pemecahan masalah kehidupan inilah yang terjadi di Universitas Indonesia. Universitas Indonesia yang sampai saat ini belum memiliki rektor tetap, sedang mengalami kebuntuan-kebuntuan dalam menghadapi kekisruhan yang terjadi di kalangan para petingginya. Kebuntuan itu membuat para petinggi di kampus UI melakukan tindakan religius yang diwujudkan melalui gagasan mengadakan ruwatan.
Ruwatan merupakan upacara yang dilakukan dengan maksud untuk menghalau penyakit dan wabah, membasmi hama tanaman dan sebagainya, yang seringkali menggunakan mantra-mantra untuk menjauhkan penyakit dan bencana (Koentjaraningrat, 1984). Namun, pada tataran yang mendasar upacara ruwatan adalah upacara yang diadakan dengan tujuan menghindari diri dari kesialan yang disimbolisasikan dengan dimakan Batara Kala, terutama bagi yang tergolong ke dalam anak sukerta[1]. Upacara ruwatan dilakukan oleh dalang ruwat melalui media pertunjukan wayang ruwatan yakni lakon Murwa Kala.
Pada masa kini sukerta memiliki perluasan makna atau ameliorasi. Pada kasus UI, ruwatan yang diadakan bukan bertujuan untuk meruat golongan anak sukerta, tetapi lebih bertujuan untuk mengupayakan kembali kejayaan UI yang saat ini terlunta-lunta. Oleh karena itu, makna sukerta pada kasus ini tidak bisa disamakan.
Ruwatan yang diadakan di Universitas Indonesia berlangsung pada tanggal 5 April 2012. Upacara ini dipimpin langsung oleh dalang ruwat dari ISI Surakarta yang bernama Ki Joko Santoso. Pada perhelatan upacara ruwatan di UI, banyak hal-hal yang tampak sedikit berbeda dengan upacara ruwatan pada umumnya. Perbedaan tersebut muncul terutama dari isi lakon wayang yang dipertunjukan. Namun secara umum rangkaian upacara ruwatan itu tidak berbeda. Pertama, lakon wayang Murwa Kala dipertunjukan. Kedua, pembacaan mantra-mantra oleh ki dalang. Ketiga, pemotongan rambut yang juga dilakukan oleh dalang. Terakhir, pelarungan bekas potongan rambut tadi.

Pagelaran Wayang Lakon Murwa Kala
            Pada saat sebelum acara dimulai, panitia sempat mebagikan artikel terkait ruwatan. Artikel ditulis oleh Darmoko, M.Hum dengan judul “Ruwatan : Menggelar Lakon Murwakala”. Pada artikel tersebut dipaparkan lakon Murwa Kala    sebagaimana umumnya. Cerita yang ditulis dari artikel tersebut kira-kira sebagai berikut ringkasannya:
            “Batara Guru dan Narada turun ke dunia hendak menolong salah seorang mangsa Batara Kala di desa Maja. Di tengah jalan ia menabrak Batara Kala. Batara kala dan Dewi Uma mengeluh mangsanya yang selalu dikurangi. Dewi Uma dikutuk menjadi Durga dan diperintahkan ke Desa Maja untuk diruwat oleh seorang dalang sejati. Durga bertemu dengan Batara Kala dalam pengembaraannya dan memberikan bala tentara kepada Batara Kala. Durga mencari talaga pangruwatan dan Batara Kala melanjutkan perjalanan menuju desa Maja. Sorang ontang-anting bernama Garuda Lare dikejar Batara Kala. Ia kemudian bersembunyi di periuk besar yang sedang dipakai merebus air. Air panasnya kemudian tumpah terkena kaki Batara Kala, luluh. Butapa dan Butapi diperintahkan Batara Kala menggoda satria itu, tapi tidak muncul juga, Batara Kala pun pergi dan bertemulah ia dengan seorang yang bernama Bapa Truna. Ia hendak dimangsa Batara Kala. Terjadilah perang, kemudian Batara Kala pun pergi. Di tengah perjalanan ia bertemu lagi Garuda Lare, Batara Kala mengejar. Garuda Lare bertemu dengan seorang wanita yang sedang hamil di Desa Sendang Kawit.Wanita itu duduk di tengah pintu. Garuda Lare memperingatkan wanita itu agar jangan duduk di tengah pintu karena nanti dimakan Batara Kala. Batara Wisnu dan Dewi Sri menerima kedatangan Batara Narada. Batara Narada memerintahkan mereka agar tinggal di Mendanggawa. Wisnu menjadi dalang sejati, sedangkan Dewi Sri sebagai penggender. Sedangkan Batara Narada sebagai nayaga bersama Cupak. Mereka berangkat menuju Sendanggawa. Dalang sejati bertemu dengan Batara Kala. Terjadi pembicaraan diantara mereka. Dalang membacakan ciri-ciri Batara Kala. Akhirnya Batara Kala pergi. Durga mengalami kesengsaraan dan akhirnya tiba di desa Maja. Durga teruwat dan akhirnya kembali ke kahyangan.”
            Dari uraian cerita yang ditulis oleh Darmoko tersebut terdapat perbedaan dengan apa yang dilakonkan pada acara ruwatan di kampus UI. Perbedaan tersebut meliputi jalan cerita, tokoh, dan latar tempat yang diadaptasi menggunakan lingkungan UI. Ketika kayon mulai diangkat, bagian pertama menceritakan bertemunya Batara Guru dan Batara Kala. Batara Guru mencegah Batara Kala yang senang memangsa manusia. Batara Kala akhirnya diizinkan boleh memakan manusia jika manusia yang dimaksud tergolong ke dalam anak sukerta. Batara Guru menyebutkan jenis-jenis anak Sukerta yang salah satunya mahasiswa yang 12 semester belum lulus dan dosen yang tidak benar, bahkan termasuk juga koruptor.
Setelah mendengar uraian Batara Guru, Batara Kala akhirnya berangkat mencari mangsa. Ia bertemu anak buahnya dan memerintahkan untuk turut membantu. Batara Kala bertemu seseorang yang bernama Tuna Bapa, seorang ontang-anting. Ia hendak dimangsa Batara Kala, tetapi gagal karena Batara Kala kalah bertikai. Batara Kala melanjutkan pencariannya, ia bertemu orang yang bernama Bapa Tuna kemudian Joko Tuna Bapa. Kedua orang itu juga tidak bisa ditakhlukan karena sakti. Selanjutnya seorang anak buah memberitahukan ada mangsa yang bisa di makan di Universitas Indonesia. Batara Kala kemudian berniat memangsa orang-orang UI. Cerita berganti menjelaskan orang-orang UI yang terlibat diantaranya, Rektor UI, petinggi UI lain, Ibu Margaretha, Ibu Woro, dan lain-lain.
Adegan terakhir lakon
Tokoh ibu Margareta diperintahkan tokoh Prof. Joko Santoso mencari dalang yang bisa meruwat. Sebelumnya diceritakan pula tokoh wayang yang bernama Kandha Buwana bersama tokoh wayang lain yang mirip semar dijadikan sebagai nayaganya sedang membicarakan upaya menghalau Batara Kala. Singkat cerita, bertemulah dalang Kandha Buwana dengan tokoh-tokoh UI. Para tokoh-tokoh UI tersebut kemudian meminta ki dalang meruwat mereka. Tidak lama kemudian Batara Kala dating hendak memangsa tokoh-tokoh UI tersebut. Tokoh-tokoh UI kemudian berlindung di belakang dalang Kandha Buwana. Dalang Kandha Buwana menghalangi Batara Kala kemudian meruwat para tokoh UI sehingga mereka tidak bisa dimakan. Saat meruwat, dalang membacakan mantra yang sangat panjang. Batara Kala tidak bisa memangsa tokoh UI kemudian digantikan dengan sajen. Para pengikut Batara Kala turut meminta sesajian pada dalang. Lakon pun berakhir.
Jadi, yang menarik dari lakon yang di bawakan di kampus UI bahwa lakon Murwa Kala ternyata tidak sepenuhnya dijalankan seperti pada umumnya, namun terjadi adaptasi cerita yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pihak yang akan diruwat. Muncul kreatifitas dalang pada tataran ini.


Pembacaan Mantra
Berdasarkan artikel tulisan Darmoko, dituliskan mantra yang disebutkan oleh dalang. Memang ada kemiripan antara yang ditulis pada artikel dan apa yang diucapkan oleh dalang. Mantra tersebut mencoba menyatukan keempat unsur kehidupan manusia yakni air, api, angin, dan tanah. Ada usaha dalang yang berupaya memanggil keempat unsur tersebut untuk menyelamatkan manusia.
Hal menarik yang terjadi ketika pembacaan mantra adalah ketika dalang meminta kepada para penonton yang sedang tidak suci atau haid bagi wanita agar meninggalkan ruangan. Tidak hanya yang sedang haid, wanita yang sedang hamil pun turut dilarang melihat bagian ini. Ini menunjukan bahwa bagian pembacaan mantra benar-benar sakral dimana setiap orang harus dalam keadaan suci. Pada saat pembacaan mantra, dalang juga tidak menggunakan mikrofon. Ini juga isyarat bahwa pembacaan mantra harus benar-benar khusyuk.

Pemotongan Rambut
Salah satu peserta yang dipotong rambutnya
Ketika pembacaan mantra dan lakon usai, para peserta melakukan ritual pemotongan rambut. Rambut para peserta kemudian dipotong dengan gunting lalu potongan tersebut dimasukan ke dalam wadah berisi air dan kembang tujuh rupa. Peserta pertama yang dipotong rambutnya adalah rektor, kemudian disusul bawahannya. Sesaat sebelum dalang memotong rambut peserta, dalang membaca mantra-mantra dalam hati terlebih dahulu. Upacara pemotongan rambut merupakan simbolisasi penghilangan bagian dari diri manusia yang terkena sial. Dengan dipotong, diharapkan kesialan itu pun terpotong dan tidak akan kembali lagi. Pemotongan rambut hanyalah prasyarat saja sehingga bagian rambut yang dipotong hanya sedikit tidak seluruhnya dipotong.

Pembagian Air Ruwatan
Setelah semua peserta dipotong rambutnya, para peserta tersebut kemudian mengambil air yang konon diambil dari tujuh sumur. Air tersebut sebelumnya juga sudah dicampur dengan kembang tujuh rupa. Pada saat peserta pertama, air tidak hanya diambil tetapi juga disiramkan ke kepala peserta. Namun, pada bagian peserta lain air hanya diambil ke dalam botol. Tidak jelas apakah air ini untuk digunakan mandi atau minum. Pada intinya, penggunaan air ini adalah simbolisasi pensucian kembali jiwa yang sebelumnya kotor. Setiap orang disucikan kembali melalui media air ruwatan. Alasan mengapa tujuh sumur dan tujuh macam bunga kemungkinan memang sesuatu yang ganjil itu memiliki kekuatan magis tersendiri. Seperti halnya upacara-upacara Jawa yang lain yang banyak menggunakan bilangan ganjil seperti tujuh dan lima.
Melarung rambut

Pelarungan Rambut
Berdasarkan informasi yang saya terima dari panitia sebelumnya, para peserta diminta membawa baju bekas layak pakai untuk dilarung pada bagian ini. Namun, pada kenyataannya upacara pelarungan hanya membuang air beserta rambut bekas pemotongan sebelumnya yang sudah bercampur kembang tujuh rupa. Dalang bersama para peserta membuang campuran tersebut di danau sisi Balairung. Saya pikir aka nada pelarungan pakaian bekas, namun ternyata tidak. Saya tidak tahu alasannya mengapa. Apakah karena pelarungan tersebut hanya akan menimbulkan sampah di danau, atau ada alasan lain. Yang jelas, pelarungan rambut ini merupakan simbol dari pelepasan segala sesuatu yang selama ini membawa keburukan.

Sesaji
Tumpeng dan lawuhan rampadan
Upacara ruwatan tidak lepas dari sajen-sajen yang sarat makna. Sajen-sajen tersebut sudah disiapkan sejak upacara belum dimulai. Sajen tersebut ternyata ditujukan untuk persembahan kepada Batara Kala dan pengikutnya sebagai pengganti dari anak sukerta. Pada akhir lakon cerita Murwa Kala tadi disebutkan bahwa sajen-sajen tersebut memang akhirnya diserahkan kepada Batara Kala. Jadi sesajian tersebut tidak diperuntukan untuk dimakan para peserta. Ada beberapa macam sesajen yang disiapkan ketika upacara ruwatan.
1.      Tumpeng robyong dan lawukan rampadan. Isinya ada ayam bekakak, telur bebek rebus, sayuran, dan ikan asin.
2.      Krowotan, berisi aneka makanan rebus di antaranya kacang rebus, ubi rebus, singkong rebus, dan jagung rebus.
3.      Tenong, berisi pisang raja, kembang melati, dan lain-lain.
4.      Sayur-sayuran, berisi aneka macam sayuran yang terdiri dari wortel, kacang panjang, jagung, kol, garam, dan daun salam.
5.      Buah-buahan, di antaranya nanas, jambu air, jambu biji, jeruk, rambutan dan salak.
6.      Makanan kecil, terdiri dari aneka kerupuk, dan makanan ringan yang ada di warung.
7.      Bumbu dapur, terdiri dari jahe, lengkuas, kunyit, sereh, dan lain-lain.
8.      Jajanan pasar, terdiri dari kue-kue.
9.      Kendi dari tanah liat, berisi air
10.  Polo kependhem, polo kesimpar, polo humantung. Semua jenis umbi umbian seperti ubi dan singkong, semua jenis buah-buahan yang menggeletak di atas tanah seperti mentimun, dan semua buah-buahan yang menggantung seperti mangga.
11.  Kopi dan Teh
12.  Bubur merah bubur putih
13.  Peralatan berdandan, terdiri dari sisir, cermin, bedak, jarum, peniti, gunting, pisau, dan lain-lain.
14.  Sepasang lele yang hidup di dalam wadah dari tanah liat.
15.  Sinjang atau payung
16.  Kembar mayang yang terdiri dari kelapa gading, janur, pohon beringin, dan tebu.
17.  Beberapa jenis kain jarik turut digantungkan diatas kelir wayang. Jenis jarik itu tidak begitu jelas batik motif apa, namun salah satunya jenis batik parang. 

Selain sesaji tersebut, ada simbolisme lain yang juga muncul sepanjang upacara berlangsung. Tokoh wayang Batara Kala dan Dalang Kandha Buwana dikalungi rangkaian bunga melati yang dironce. Selain sebagai penanda tokoh utama, mungkin maksud dari pemakaian melati roncean ini untuk “mengisi” wayang dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di sekitar lingkungan.  Wangi bunga melati inilah yang bisa saja mengundang “masuk”nya energi lain ke dalam wayang. Di belakang panggung sepanjang upacara dilaksanakan juga dibakar kemenyan dan dupa, yang berkemungkinan memiliki fungsi pengundang kekuatan-kekuatan magis di sekitar lokasi ritual ini dilaksanakan.



[1] Yang tergolong ke dalam anak sukerta yakni ontang-anting, kendana-kendini, julung wangi, julung pujud, margana, gondang kasih, dampit, unting-unting, lumunting, pendawa, pendawi, uger-uger lawang, kembang sepasang, orang yang menjatuhkan dandang, mematahkan batu gilasan, menaruh beras dalam lesung, mempunyai kebiasaan membakar rambut dan tulang, dan membuat pagar sebelum rumahnya jadi. (Bratawijaya, 1988)

Comments

Popular posts from this blog

Rute Angkutan Umum di Cinere

Perjalanan Sehari Jakarta - Kawah Putih Naik Motor

Transportasi dari Jakarta ke Pos Pendakian Gunung Sindoro-Sumbing, Wonosobo