Perjalanan ke Tanah Papua

Ini adalah kisah perjalanan saya menuju Papua. Pada tanggal 22 Agustus 2013 saya berangkat ke Papua dengan tujuan penelitian naskah kuno. Kami adalah tim peneliti budaya khususnya bidang ilmu filologi dengan tujuan khusus mencari tahu keberadaan naskah kuno islam di tanah Papua. Kami terdiri dari satu orang guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yakni Prof. Titik Pudjiastuti, Dr. Tommy Kristomi, Ph.D, Munawar Holil, M.Hum, Pitria Dara, S.Hum dan saya sendiri Rizky Ramadhani. Ini adalah perjalanan paling berharga bagi saya. Saya belum pernah ke Papua, belum pernah naik pesawat, belum pernah kerja bareng dosen-dosen. Maka inilah perjalanan yang cukup menegangkan sepanjang hidup saya. 

Tiket ke Sorong, Papua Barat
Pukul 18.30 WIB tim bergerak dari Universitas Indonesia menuju bandara internasional Soekarno Hatta, Cengkareng. Rencananya kami akan check-in pukul 21.00 karena pesawat akan take off pukul 22.30. Perjalanan menuju bandara cukup menengangkan bagi saya. Saya tidak tahu bagaimana cara naik pesawat. Berdasarkan bacaan di internet naik pesawat tidaklah sama dengan naik bus. Oleh karena itu saya malu-malu. Di jalan saya terus memandangi langit Jakarta dari dalam mobil, melihat pesawat yang melintas di atas jalan tol Sedyatmo.

Sekitar jam sembilan kami tiba di terminal 1A bandara Soekarno Hatta dan bergegas check-in di counter Sriwijaya Air. Ya, perjalanan ke Papua akan kami tempuh menggunakan pesawat Sriwijaya Air. Di tiket tertera bahwa untuk mencapai kota Sorong, kota pendaratan kami yang pertama di Papua, harus ditempuh dengan melakukan transit terlebih dahulu di Makassar. Usai check in, kami bergegas menuju tempat boarding. Saya agak kerepotan karena banyak membawa peralatan fotografi khusus. Saya mungkin terkesan kaku terutama saat pemeriksaan barang menggunakan X-Ray. 

Tidak begitu lama menunggu, pesawat sudah tersedia. Kami bergegas menuju pesawat meski pesawat ternyata berubah lokasi pintunya. Kaki saya terasa lemas begitu melihat pesawat yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya menyambut saya malam itu. Seorang co-pilot dan pramugari menyambut kami di pintu depan pesawat. Kerepotan kembali terjadi saat saya harus memasukan beberapa barang bawaan yang tidak bisa masuk bagasi itu ke atas kabin. Saya duduk di sisi Pak Malik salah seorang anggota tim tambahan yang sudah mengena Papua sebelumnya. Kami memang janjian di Bandara. Beliau bekerja di Kementrian Agama dan memang sudah pernah ikut penelitian sebelumnya ketika di Maluku. Kebetulan saya duduk di sebelah jendela. Dan tentu saja ini akan menjadi pengalaman manis melihat Jakarta dari atas langit. 

Pramugari mulai memperagakan aturan keselamatan di pesawat itu berarti pesawat akan segera lepas landas. Kali ini saya mulai merasa deg-degan. Pesawat mulai bergerak menuju landasan pacu. Pilot telah memberi aba-aba "take off position". Tiba-tiba pesawar bergetar hebat. Mesin jet dinyalakan. Muncul dorongan yang sangat besar hingga pesawat meluncur sangat cepat. Perlahan pesawat mulai melayang dengan posisi naik 30 derajat. Karena ini pengalaman pertama, take off kali ini bikin mak-joss. Mungkin seperti naik jet coaster. Saat take off ketinggian pesawat masih rendah. Akibatnya, pesawat harus berguncang saat menembus awan, Beberapa kali pesawat seperti kehilangan daya angkat. Ya demikianlah layaknya pengalaman pertama naik pesawat. 

Tiba di Kota Sorong

Pukul 2.30 WITA dini hari kami tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanudin Makassar untuk melakukan transit. Setelah menunggu satu jam, akhirnya kami melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat Sriwijaya Air dengan tipe ukuran pesawat yang lebih kecil. Hal ini dimungkinkan karena landasan pacu di bandara Sorong, katanya tidak begitu besar. Menjelang pukul 5 WIT tampak cahaya mentari berwarna merah menghiasi langit. Di bawanya tampaklah gugusan kepulauan yang luar biasa indah. Sungguh pemandangan yang tak pernah saya temui sebelumnya. Mungkin itulah gugusan kepulauan di wilayah laut Raja Ampat karena tidak lama kemudian sang pilot mengumumkan bahwa pesawat segera mendarat.

Deru pesawat menggetarkan kami begitu rodanya mulai menyentuh permukaan bumi. Drrrrrrr..... Kami tiba di Bandara Dominik Edward Oslo (DEO) Kota Sorong, Papua Barat. Sebuah bandara kecil yang cukup sederhana, bahkan sepertinya jauh lebih sederhana dibanding terminal bus Kampung Rambutan, Jakarta. Kami menunggu keluarnya muatan bagasi yang cukup lama. Di bandara ini mesin tunggu bagasi cuma ada satu. Jelaslah kapasitas bandara ini memang kecil.

Suasana Kota Sorong
Kami menuju hotel Mariat yang sebelumnya sudah dibooking. Kami menggunakan mobil jenis xenia sewaan. Di sepanjang jalan antara bandara dan hotel kami mulai merasakan denyut kehidupan kota sorong. Orang-orang berkulit hitam, kaum pribumi papua, bertebaran di mana-mana. Sayangnya, jumlah mereka kalah banyak dibanding orang-orang maluku. Tampaknya di kota sorong lebih banyak orang Maluku dibanding pribuminya itu sendiri. Gereja dan Masjid juga tampak damai berdampingan di sudut-sudut kota Sorong. Selayaknya kota kecil, kota sorong tak banyak memiliki gedung besar dan jalan besar. Di sepanjang jalan banyak berdiri ruka yang hanya berlantai 2 hingga 4 lantai. Jalan ke kantor walikota pun lebih mirip jalan komplek perumahan. Tak ada yang istimewa, kecuali beberapa plang yang bertuliskan "Batik Papua". Saya cukup penasaran.

Hotel Mariat, Sorong
Tak sampai setengah jam kami sudah tiba di hotel Mariat kota Sorong. Ingat, hotel MARIAT bukan MARRIOT, karena tidak da hotel sekelas Marriot di sini. Katanya,hotel Mariat merupakan hotel bintang tiga terbesar di kota Sorong. Di sini terdapat fasilitas kolam renang, restaurant, ruang auditorium, dan tentu saja kamar kotel dengan fasilitas kamar mandi yang cukup luas. Di dinding terpajang foto beberapa menteri dan presiden SBY yang pernah mengunjungi hotel ini. Berapa hrga sewa kamar hotel per malam? Kata Ibu Titik hotel ini budgetnya Rp. 800.000 per malam. Sebuah angka yang cukup mewah untuk hotel sekelas Jakarta.

Selanjutnya kami beristirahat di kamar masing-masing sembari menunggu informasi adanya warga yang memiliki naskah kuno. Kami agak cemas karena kami belum kenal medan. Belum tahu harus ke mana mencari naskah kuno. Untung ada Pak Jait, saudara jauh Pak Malik. Dia adalah informan kami. Semoga dia bisa menemukan yang kami cari. Kalau tidak? matilah kami! Sudah mahal ongkos ke sini tak mungkin pulang tanpa membawa hasil.

Kawasan Tembok Berlin Sorong
Ikan Bakar Tembok Berlin
Sambil menunggu informasi baru, kami memutuskan untuk menikmati suasana Tembok Berlin, sebuah pantai di kota Sorong yang katanya menjadi tempat enak untuk nongkrong petang itu. Cukup naik taksi (sebutan untuk angkot di kota Sorong) dengan ongkos Rp.4.000 per orang, kami sudah tiba di sana. Luar biasa! Sepertinya di sini surga untuk makan seafood. Di sepanjang jalan tepi pantai ini berjeajar warung tenda yang menjual beragam ikan bakar seperti baronang, kakap macan, bubara, hingga cumi.

Soal harga memang mahal dibanding di Jakarta, tetapi tidak semua ikan yang ada di sini, ada di Jakarta. Lagi pula ikan di sini benar-benar masih segar. Semuanya hasil tangkapan nelayan yang baru didapat. Ikannya pun besar-besar. Dibakar dengan bumbu manis bercampur pedas, menciptakan rasa yang luar biasa dilidah. Dagingnya betul-betul gurih. Benar-benar tak tertandingi. Saya baru puas makan bermangkuk-mangkuk ikan itu hingga bagian kepalanya! Aah... Nikmatnya.

Taksi, Angkot Sorong di Malam Hari
Selesai makan kami mendapatkan informasi adanya naskah kuno di salah satu rumah warga. Naskah tersebut diizinkan untuk dipotret. Maka sekitar habis Isya waktu Papua, tim bergerak menuju wilayah Sorong Baru. Saya lupa siapa nama pemilik naskah itu. Yang jelas, dia adalah seorang pedagang pasar bersuku bangsa bugis. Keluarganya bersal dari makasar. Dengan demikian, kami mendapatkan tiga buah naskah lontara beraksara bugis. Naskah tersebut sayangnya tidak orisinil. Hanya satu yang lumayan asli, tetapi selebihnya fotokopi. Sayang sekali memang. Untuk keperluan pemotretan, kami bawa ketiga naskah itu ke hotel karena tidak memungkinkan untuk dilakukan digitalisasi naskah di rumahnya.

Kami ikembali ke hotel. Di sepanjang jalan terlihat kehidupan malam kota Sorong yang cukup ramai. Hingga pukul 22.00 WIT beberapa pusat keramaian seperi supermarket dan tempat makan, dipenuhi warga.  Tiba di hotel saya dan Kang Mumu (Munawar Holil) melakukan pemotretan. Bukan suatu hal yang sulit untuk menangani naskah pertama ini. Selain jumlahnya yang sedikit, kondisi naskah yang masih bagus tidak begitu menghambat pekerjaan kami.

Hari Kedua

Pekerjaaan tadi malam membuat kami bangun lebih siang. Hari ini kami akan kembali bergerak ke wilayah Kampung Baru. Untuk menuju kampung baru kami menggunakan taksi carteran. Rumah yang kami tuju adalah rumah seorang imam besar masjid di dekat situ. Kebetulan dia juga ketua KUA wilayah tersebut. Di tempat ini didapat keterangan bahwa asal usul beliau kebetulan orang bugis. Beliau memiliki sejumlah naskah fikih dan aqidah yang lumayan banyak. Totalnya ada 10 naskah yang kami digitalisasikan di lokasi ini. Menurut penuturan beliau, sebelumnya beliau memiliki koleksi Al-Quran yang ditulis menggunakan tinta emas. Sayang, Al-Quran tersebut kini hilang pasca musibah banjir yang melanda kampung ini beberapa waktu yang lalu. Naskah samacam ini merupakan naskah yang cukup langka. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki naskah dengan balutan tinta emas.

Hari Ketiga

Hampir putus asa kami mencari naskah kuno di tanah Papua ini. Dari beberapa informasi sepertinya kami harus berburu ke wilayah Raja Ampat. Di kepulauan Raja Ampat sepertinya banyak naskah. Mengingat pada masa lalu, di Raja Ampat lah berdiri kerajaan besar. Jadi, kemungkinan besar ke sana lah kami harus bergerak. Pagi hari kami lekas berkumpul untuk sarapan pagi di hotel. Rencana ke Raja Ampat sepertinya sulit dicapai mengingat transportasi menuju lokasi Raja Ampat sangatlah sulit mengingat jadwal pelayaran tidak selalu ada setiap hari. Dari hasil diskusi yang alot, akhirnya tim memutuskan untuk bergerak menuju Pulau Doom. Pulau Doom terletak tidak jauh dari lepas pantai Sorong.

Dongson Ke Pulau Doom
Lekas sarapan kami langsung menuju pelabuhan kota Sorong dan menyebrang ke Pulau Doom menggunakan sebuah perahu kecil. Mereka menyebut perahu semacam ini dengan julukan dongson. Perahu ini lah satu-satunya transportasi umum yang digunakan masyarakat. Segala macam benda bisa diangkut di perahu ini meskipun berbahaya. Motor, kasur, lemari, dan seluruh barang rumah tangga bisa diangkut menggunakan perahu jenis ini. Tarifnya saya sedikit lupa. Kalau tidak salah sekitar Rp.10.000. Waktu tempuh untuk sampai di pulau Doom tidak lama, hanya 15 menit kita sudah tiba di pelabuhan Doom. Becak-becak menyambut kedatangan kami. Becak merupakan transportasi umum yang digunakan warga di pulau yang luasnya tidak begitu besar ini. Untuk mengelilingi pulau hanya dibutuhkan waktu satu jam menggunakan becak. Becak-becak ini tidak asing  bagi kami, karena ternyata menurut para tukang becak, becak-becak ini didatangkan langsung dari Surabaya.Wah jauh-jauh ke Pulau Doom naik becak Surabaya...Waduh.

Tujuan kami ke sana adalah datang ke salah satu rumah seorang anggota partai Golkar, yang tinggal tepat di samping Masjid Besar Pulau Doom. Rumah yang memiliki pohon Kurma itulah miliknya. Beliau sudah haji rupanya.Setelah berbincang-bincang, akhirnya kami bisa melakukan digitalisasi di rumahnya. Ada sekitar tujuh naskah kuno yang beliau miliki. Saya tidak sempat mencari tahu naskah apa saja itu, karena tugas utama saya adalah membantu proses pemotratan. Ada pula naskah fotokopian yang sebetulnya tidak perlu didigitalisasikan. Tetapi demi keperluan penelitian maka tetap dilakukan digitalisasi.

Sekolah di Pulau Doom
Di sana kami juga sempat sholat berjamaah di Masjid Besar itu. Usai Sholat kami sempat ngobrol-ngobrol dengan pengurus masjid. Menurut penuturan masyarakat, pada awal kemerdekaan Pulau Doom inilah yang merupakan pusat pemerintahan di wilayah Papua Barat. Saat itu sorong belum menjadi kota besar. Segala urusan administrasi ada di pulau ini. Oleh karena itu, pulau ini termasuk pulau yang padat penduduk.

Kebanyakan dari mereka bermatapencaharian sebagai nelayan, tukang becak, dan pedagang. Terdapat pula kantor-kantor pemerintahan serta sekolah dasar atau madrasah. Hampir sebagian penduduk di kawasan ini merupakan pendatang. Mereka datang dari wilayah Ambon, Raja Ampat, Tidore, dan Makassar. Orang asli papua yang berciri rambut keriting dan berkulit legam tidak begitu tampak di pulau ini. Bahasa mereka pun jelas lebih condong menggunakan bahasa melayu dialek Ambon.

Rumah Pemimpin Adat Pulau Doom
Sebuah Pulau Kecil dengan Mercusuar Dekat Pulau Doom
Selesai melakukan proses digitalisasi kami melanjutkan pencarian ke salah satu tetua adat di pulau Doom. Beliau ini merupakan keturunan langsung salah satu kerajaan di Raja Ampat. Lagoi-lagi saya lupa namanya. begitu tiba di rumahnya, kami cukup takjub. Rumah beliau sangat berbeda dengan rumah warga lainnya. Rumahnya bergaya Eropa dengan halaman yang luas disertai pekarangan dengan pohon besar. Usut punya usut rumah ini ternyata rumah pemimpin resimen wilayah Papua Barat yang dikuasai Belanda. Singkatnya, ini rumah peninggalan Belanda. wajar saja desainnya mirip arsitektur Eropa yang terlihat dari tiang-tiang di halaman rumah dan gaya pintu, jendela, dan bentuk atapnya. Sayang sekali, begitu kami tiba di sini ternyata beliau tidak ada di rumah karena ada urusan dinas. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Sorong dan balik ke rumah ini lagi esok hari.

Perjalanan kembali ke dataran Sorong lebih seru karena menjelang sore ombak mulai pasang. Pemandangan di sini cukup Indah karena terdapat beberapa pulau kecil yang dilewati. Di salah satu pulau kecil itu nampak sebuah mercusuar yang kemungkinan besar juga bekas peninggalan masa kolonial Belanda. Sungguh indah tanah Papua. Tiba di hotel kami beristirahat.

Ini adalah hari terakhir kami di hotel Mariat. Karena tidak bisa diperpanjang kami memutuskan pindah hotel. Hotel tempat kami menginap dekat dengan Masjid Agung Sorong, Tepatnya belakang Happy Puppy di Jalan Srigunting. Namanya Hotel City View. Hotel yang baru diresmikan bulan Januari 2013 ini memiliki fasilitas yang jauh lebih bagus. Uniknya, harga hotl ini jauh lebih murah dibanding hotel Mariat. Tarif kamar standar per malam hanya 400 ribuan. Murah bukan? Murah untuk skala Papua tentunya. Begitu kami tiba di kamar, dua buah kondom menyambut kami di meja. Ah, sayang sekali. Ini pasti tak bisa digunakan karena tak ada lawan.Hahaha.... Tidak apa, mungkin karena di Papua banyak wabah HIV AIDS sehingga hotel pun diberi fasilitas tambahan kondom gratis. Alamak!

Hari Keempat
(Bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Rute Angkutan Umum di Cinere

Asrama UI yang Angker

Perjalanan Sehari Jakarta - Kawah Putih Naik Motor