Dimana Letak Keraton Sunda?

Inilah pertanyaan yang kerap melintas di pikiran saya ketika mempelajari dunia sejarah pulau Jawa. Di pulau Jawa, paling tidak ada dua suku besar yang secara umum mendiami wilayah pulau Jawa dengan berbagai sub-kulturnya. Pertama tentu suku Jawa yang telah memiliki tempat dalam dunia kesejarahan Indonesia, dan yang kedua suku Sunda. Mengenai suku Jawa, dari telaah sejarah, telah melahirkan beberapa kerajaan besar yang pengaruhnya cukup besar di wilayah nusantara. Mataram kuno, Kediri, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, hingga Surakarta-Yogyakarta telah melahirkan berbagai bukti kebesarannya dengan meninggalkan pelbagai macam produk kebudayaan baik itu fisik maupun non fisik. Secara fisik, kerajaan-kerajaan di atas memang telah melahirkan berbagai bangunan seperti candi, keraton, kota, irigasi, hingga bentuk fisik lain seperti dalam kesenian misalnya wayang kulit purwa. Mataram kuno membangun Borobudur dan Prambanan. Majapahit membangun ibukotanya, Trowulan, Surakarta-Yogyakarta jelas hingga kini keratonnya pun utuh. Yang jadi pertanyaan, bagaimana dengan kerajaan Sunda? Dimana letak pastinya?  Jika kerajaan Sunda benar-benar ada dan besar di masa jayanya, lalu dimana keratonnya? apakah ada bukti arkeologis yang menunjukan letak keraton kerajaan Sunda?

Candi Cangkuang
Pertama kali pertanyaan ini melintas saat mendengar kuliah singkat dari guru besar ilmu arkeologi Universitas Indonesia, Prof. Agus Aris Munandar ketika menjelaskan latar belakang candi Cangkuang di Garut Jawa Barat. Saat itu Prof. Aris menjelaskan kepada rombongan mahasiswa prodi Jawa mengenai pembangunan candi Cangkuang. Katanya, candi Cangkuang yang sekarang tegak berdiri merupakan hasil rekonstruksi para arkeolog dari Universitas Indonesia.

Candi cangkuang,
rekonstruksi ulang para arkeolog
"Candi bercorak Hindu ini ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita berdasarkan atas laporan yang ditulis Vorderman dalam buku notulen Bataviaasch Genootshap (terbit tahun 1893). Dalam tulisan tersebut disinggung tentang temuan sebuah arca (Hindu) di sekitar situ dan sebuah makam keramat yang yakini sebagai Embah Dalem Arif Muhammad yang sangat dihormati oleh penduduk setempat." (dikutip dari www.arkeologi.web.id)

Bermodal informasi tersebut, para arkeolog pun berangkat ke Garut dan alhasil menemukan reruntuhan batu yang diduga kuat candi. Hampir seluruh bagian rusak kecuali sepertiga bagian candi kebawah termasuk patung nandi masih utuh. Berbekal pengetahuan para arkeolog, mereka langsung melakukan rencana rekonstruksi candi yang diduga lebih tua dari candi borobudur itu. Menurut Prof. Agus, jika melihat pola hiasan candi, diduga kuat candi tersebut dibuat pada masa awal, karena sangat sederhananya, misalnya tidak ada relief dada candi dan hiasan-hiasan lainnya yang juga tak ditemukan. Singkat cerita, para arkeolog pun membangun kembali dengan membandingkan candi-candi era Jawa Timur-an hingga jadilah bentuk candi Cangkuang seperti yang kita dapat lihat sekarang. Yang menarik dari penjelasan Prof. Agus, ialah bagaimana ia menceritakan hubungan kerajaan Sunda dan Candi itu, yang kedua, penjelasaanya yang menyatakan bahwa 60% lebih rekonstruksi tersebut adalah dugaan tanpa bukti yang pasti.

Kerajaan Sunda dan Ibukotanya
Penjelasan beliau yang mengaitkan candi Cangkuang dan kerajaan Sunda, bahwa ada kemungkinan candi tersebut dibangun sekitar abad ke-8 Masehi pada masa kerajaan Sunda beribukota di Galuh sekitar Ciamis, Jawa Barat. Prof Agus menambahkan bahwa ibukota kerajaan Sunda akhirnya pindah ke wilayah yang sekarang disebut Bogor, atau pada masa lalu disebut Pakuan. Perpindahan ini disebabkan adanya fenomena alam, yaitu meletusnya gunung Galunggung. Dugaan itu diperkuat dengan bukti kedahyatan letusan gunung Galunggung pada tahun 1982. Ini sangat mungkin terjadi pada konteks awal kerajaan Sunda. Lalu pertanyaannya apa bukti adanya ibukota kerajaan sunda di wilayah Pakuan tadi?

Secara arkeologis, terkait lokasi pasti kerajaan Sunda di Pakuan memang belum jelas. Salah satu informasi terkait ibukota kerajaan Sunda adalah prasasti tugu. Prasasti tersebut berisi informasi tentang syukuran kerajaan tarumanegara atas keberhasilan pembuatan dua buah kanal sepanjang 6122 tombak.  Ini hasil terjemahan prasasti tersebut yang dikutip dari wikipedia.org. Mengenai kebenaran isi terjemahan ini jangan langsung dipercaya, namun bisa sedikit menggambarkan informasi.

"Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memilki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah kali (saluran sungai) ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (maka sekarang) beliau pun menitahkan pula menggali kali (saluran sungai) yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah kali (saluran sungai) tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”

Prasasti Tugu di Museum Nasional
Prasasti Tugu dibuat sekitar abad ke5 Masehi pada masa kerajaan Tarumanegara. Sementara itu, candi Cangkuang dibuat sekitar abad ke8 Masehi pada masa kerajaan Sunda. Terkait perpindahan dari Ciamis ke Bogor dan nama kerajaan ini apakah sama atau berbeda saya belum begitu paham, namun yang jelas dari prasasti tersebut setidaknya ada informasi tentang lokasi kerajaan yang kita bahas saat ini diluar masalah periodisasi. Ini juga masih menjadi pertanyaan saya. Dari informasi diatas secara tersirat menyebut lokasi istana kerajaan yang berada diantara kedua kanal. Sebelum menemukan lokasi istana kita cari dulu dimana letak kedua kanal itu. Jika kanal yang dimaksud adalah sungai yang sekarang disebut Citarum, maka kita dapat menduga lokasi istana ini di antara Sungai Citarum dan satu kanal yang belum diketahui dimana. Kita dapat berasumsi kanal tersebut adalah sungai citarum terkait penamaan sungai ini. Dalam bahasa Sunda, Ci- dapat berarti 'air' atau juga 'sungai'. Sedangkan kata 'Tarum' sendiri menjelaskan tentang kerajaan Tarumanegara. Hanya saja asumsi ini belum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Situs Batu Jaya di areal persawahan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat
Di luar asumsi tersebut, ada bukti yang lebih jelas terkait lokasi istana kerajaan Tarumanegara. Para arkeolog dari Universitas Indonesia menemukan situs yang kemudian disebut situs Batujaya. Lokasinya kurang lebih 500 meter sebelah utara sungai Tarumanegara, masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Karawang. Situs ini tidaklah sama seperti situs arkeologis pada umumnya di wilayah Jawa Tengah, maupun Jawa Timur. Situs ini diduga merupakan kumpulan candi candi yang tersebar tidak merata. Material candi ini pun beragam, namun umumnya terbuat dari bata. Tim Mahasiswa Sastra Jawa, Universitas Indonesia juga pernah datang ke lokasi ini juga ditemani oleh Prof. Agus Aris Munandar guru besar Arkeologi UI sekitar tahun 2009 silam. Hasil penjelasan Prof. Agus, menurut Ria Novayani, Sastra Jawa 2009 mengenai teknik pembuatan candi ini sangat unik, selain dengan sistem puzzle, cara menyambungkan bata yakni dengan menggosok-gosokan batu satu dengan bata lainnya sehingga gesekan tersebut menjadi lengket dan menempel (bata dalam keadan basah). Dari beberapa candi yang ditemukan di tengah areal persawahan ini, diduga candi ini dibangun pada waktu yang tidak saling bersamaan. Candi yang paling muda dibuat sekitar abad ke-12 Masehi dan yang paling tua sekitar abad ke-3 Masehi. Pertanyaanya adalah apakah candi-candi ini bisa dijadikan bukti, dan disebut sebagai lokasi istana kerajaan Tarumanegara? Belum ada yang bisa menjawab secara ilmiah tentang hal ini.

Beralih ke Masa Kolonial Belanda
Kembali lagi kita membicarakan soal lokasi keraton Sunda. Kali ini saya akan mengutarakan masalah ini berdasarkan sejarah pada masa kolonial Belanda. Terus terang saya tidak tahu secara pasti bgaimana kejatian jatuhnya tanah Sunda ke tangan orang-orang Belanda kecuali tentang penyerbuan Sunda Kelapa, mengingat Sunda Kelapa merupakan pelabuhan yang ramai sebelum kedatangan para penjelajah Eropa. Saya bertanya-tanya tentang apakah mungkin kita berasumsi bahwa jatuhnya tanah Sunda ke tangan penjelajah Eropa setelah para penjelajah ini menakhlukan Sunda Kelapa? Perlu dicatat bahwa sungai Ciliwung konon pernah menjadi arus lalu lintas yang menghubungkan Sunda Kelapa dan Ibukota kerajaan Sunda di sekitar dataran Bogor. Jika demikian, mungkin saja ketika pada akhirnya Jayakarta jatuh ke tangah penjelajah Eropa, maka mereka pun melakukan serangan ke seluruh wilayah kerajaan Sunda termasuk ibukotanya, Pakuan. Belum ada bukti mengenai hal ini. Lalu apa yang terjadi di ibukota kerajaan Sunda pada saat orang Eropa datang? Apakah ketika kedatangan bangsa Eropa di wilayah  Sunda, kerajaan Sunda ini telah tiada? Bagaimana bisa?

Sebelum memikirkan kedatangan bangsa Eropa di tanah Sunda, kita simak dulu pergerakan politik di kiri-kanan tanah Sunda pada masa itu. Sekitar abad ke-15 di Jawa Tengah muncul kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Demak telah lahir di pesisir utara Jawa Tengah yang tidak lepas dari campur tangan para wali sanga.  Sejarah mencatat, kerajaan Demak telah memudarkan pengaruh kerajaan Hindu Majapahit yang agung. Demak memberontak dari Majapahit. Demak melancarkan pengaruhnya ke seluruh penjuru tanah Jawa, tidak terkecuali tatar Sunda. Saya tidak begitu paham pengaruh Demak pada kerajaan Sunda. Namun, pada tahun 1527 tentara kerajaan Demak dipimpin oleh Fatahilah menyerbu Sunda Kelapa yang hendak dikuasai orang Eropa. Nama Sunda Kelapa pun diubah menjadi Jayakarta untuk mengabadikan peristiwa itu. Jayakarta berarti 'kota kejayaan'.  Pasukan Demak memenangkan pertempuran itu. Tentu saja wilayah Jayakarta ini jatuh ke tangan kesultanan Demak. Dimana peran kerajaan Sunda dalam mempertahankan wilayah Sunda Kelapa yang jelas merupakan pesisir kerajaannya dengan sentra perdagangan yang ramai sedemikian rupa? Lagi-lagi kita belum mendapat kejelasan yang pasti.

Masjid Agung Banten, bukti eksistensi kesultanan Banten
Diwilayah yang sekarang Banten, semenjak berhasil ditakhlukannya Sunda Kelapa, pengaruh Demak pun memunculkan kerajaan islam baru yaitu Banten. Ini adalah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda. Memang dari segi bahasa, Banten tentu tidak sama dengan wilayah Sunda pegunungan seperti Tasik, Bandung, Garut, dan seterusnya, tapi paling tidak kesultanan Bantenlah yang tercatat sebagai kerajaan Sunda Islam, sekaligus kerajaan Sunda terakhir di pulau Jawa disamping Cirebon. Berbeda dengan kerajaan Sunda Kuno, maupun Sunda pegunungan, kerajaan ini jelas lokasinya. Begitu pula bukti peninggalannya. Situs kerajaan ini yang paling populer berupa Masjid Agung Banten yang berada di Serang. Adapula benteng yang menggambarkan bagaimana kerajaan ini bertahan melawan gempuran penjelajah Belanda. Tapi tampaknya saya  belum puas jika hanya menemukan Banten untuk dijadikan rekomendasi lokasi pasti kerajaan Sunda.

Pengaruh Mataram Islam atau Penjelajah Eropa?
Pada bagian terakhir artikel ini, saya akan memaparkan dua kemungkinan mengenai hilangnya keraton kerajaan Sunda. Memang kedua kemungkinan ini menurutsaya masih jauh dari mungkin sebab tidak ada bukti yang jelas pula. Keduanya kemungkinan ini pada dasarnya berlatar teknis yang sama, yaitu pemusnahan. Pertama, pendudukan kerajaan Mataram Islam di kerajaan Sunda telah menghilangkan berbagai peninggalan kerajaan Sunda hindu. Kedua, kedatangan bangsa Eropa telah memusnahkan peninggalan kerajaan Sunda.
Inilah kerajaan-kerajaan sunda yang kemudian musnah itu. Saya kutip nama-nama ini dari wikipedia, namun jangan terlalu percaya mengenai kerajaan-kerajaan ini. Silahkan dicek kembali.



"Kerajaan-kerajaan lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda adalah: Cirebon Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh, Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten Girang dan Ujung Kulon (Hageman,1967:209)." (dikutip dari wikipedia.org)



Keraton Cirebon, belum bisa mewakili sisa-sisa keraton Sunda
Mengenai yang pertama, pasca dikuasainya kesultanan oleh Mataram, satu persatu wilayah Sunda pun turut dikuasainya. Ini terjadi pada masa pemerintahan sultan Mataram, Panembahan Senapati. Pada saat itu, kerajaan Sunda memang sudah terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil sehingga mungkin lebih mudah untuk ditakhlukan. Bukti budaya atas penguasaan wilayah oleh Mataram, salah satunya diperkenalkan sistem unggah-ungguh bahasa. Sebelumnya orang sunda tidak mengenal sistem tingkat tutur dalam berbahasa. Mataram pun mengenalkan aksara Jawa hanacaraka, kemudian aksara ini diadaptasi oleh orang sunda hingga kemudian disebut cacarakan. Artinya, pengaruh Mataram pada saat pendudukan itu sangatlah besar.

Menyangkut ibukota kerajaan Sunda, jika kerajaan sunda memang sudah terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil maka wilayah sunda pun kemungkinan besar tidak memiliki ibukota yang besar, semacam Trowulan milik Majapahit. Oleh karena itu, tentu pemusnahan kerajaan-kerajaan ini akan lebih mudah dan lancar. Asumsi ini mungkin jika ekspansi Mataram ke tatar Sunda dilakukan secara sporadis. Namun rasanya sulit masuk akal jika sistem penguasaan Mataram di tanah Sunda semacam ini. Perlu ada bukti baru untuk memastikan hal ini.

Rumah adat Sunda, menggunakan material utama bambu
Hilangnya berbagai sarana fisik kerajaan-kerajaan pecahan Sunda ini mungkin juga karena material bahan yang digunakan untuk membangun keraton misalnya menggunakan material yang tidak awet. Orang Sunda sudah dikenal piawai dalam memanfaatkan bambu dalam pelbagai aktifitas sehari-harinya. Angklung, perabot dapur, bahkan material bangunan rumah tradisionalnya menggunakan bambu sebagai bahan baku utamanya. Artinya bisa saja material ini juga digunakan pada bangunan-bangunan keraton pecahan kerajaan Sunda ini. Jika demikian, maka tanpa serangan orang-orang Mataram itu pun, dengan sendirinya, bangunan-bangunan ini akan musnah.

Meriam Peninggalan Belanda, di Museum Geusan Ulun, Sumedang, Jawa Barat
Begitu pula yang terjadi pada prediksi yang kedua. Bangsa Eropa yang datang melakukan penguasaan wilayah Sunda pasti lebih memungkinkan melakukan serangan secara sporadis dengan memusnahkan bangunan-bangunan keraton. Prediksi ini mungkin terjadi sebab bangsa Eropa kerap kali datang menggunakan kekuatan fisik massal. Mereka punya senjata yang lebih modern, tidak mustahil untuk memusnahkan bangunan-bangunan itu. Saya mengambil contoh Pakuan. Kita tidak akan menemukan sisa-sisa keraton Sunda di wilayah itu sebab Pakuan mungkin dihancurkan oleh penjelajah Eropa, maka untuk menenggelamkan sisa-sisa kerajaan Sunda tersebut, maka dibangunlah kota Bogor yang lebih baru. Sistem tata kota yang masih bisa kita lihat sekarang hampir secara umum peninggalan masa kolonial. Kekuatan bangunan-bangunan ini juga didukung oleh material yang modern pula. Kalah jauh dibandingkan material yang digunakan orang-orang Pakuan sebelumnya.

Demikian prediksi yang mungkin terjadi atas hilangnya bangunan keraton kerajaan Sunda. Saya pikir perlu adanya bukti ilmiah atas kemungkinan diatas.

Comments

Popular posts from this blog

Rute Angkutan Umum di Cinere

Asrama UI yang Angker

Perjalanan Sehari Jakarta - Kawah Putih Naik Motor