Mereka Hilang!

Ditulis Berdasarkan Kisah Nyata untuk Kuliah Penulisan Populer, FIB-UI
Oleh Rizky Ramadhani

BRAAAAK

Sebuah tumpukan kertas terjatuh dari dalam lemari. Suara itu menghentikan gerak langkah Hendra bersama ayahnya yang sedang menggeser lemari besar.

Sejak matahari masih sayup-sayup terbangun dari peraduannya, Hendra dan Pak Madih, ayahnya itu, sudah bergegas memindahkan barang seisi rumah untuk dinaikan ke atas truk. Mereka tidak hanya berdua, beberapa orang tampak membantu proses pindah rumah keluarga Pak Madih.

"Apa itu, ndra?" tanya Pak Madih penasaran melihat ada tumpukan kertas yang jatuh itu.

Hendra terdiam memandangi berlembar-lembar kertas yang ditempeli koran.

"Ehmmm... Ini kliping, Pak."

Terdengar suara Hendra menjawab pertanyaan ayahnya itu dengan nada yang sedikit gugup. Tangannya gemetaran begitu melihat tempelan koran tertanggal 20 Mei 2000 di sudut kiri atas kertas. Tiba-tiba saja Hendra seperti lemah lunglai. Matanya berbinar-binar. Suasana berubah beku. Pikirannya menarawang jauh dan dalam, mengingat suatu peristiwa tragis tiga belas tahun yang lalu. Ya, peristiwa yang tidak bisa ia lupakan dan masih membekas dalam benak hatinya. Terbayanglah  peristiwa yang memilukan itu.

***

"Treng... Treng... Treng." Suara penggorengan dipukul-pukul.

"Tinah... Romi... Tinah... Romi... " Orang-orang terus berteriak memanggil-manggil kedua nama itu. 

Wajah orang-orang itu tampak cemas. Mereka terus memukul-mukul peralatan dapur, kentongan, dan berbagai alat yang tak lazim dipukuli itu tanpa merasa lelah. Mereka berputar-putar mengelilingi sekitar rumah kosong tua, kebun, dan jalan masuk kompleks perumahan. 

Ini baru pukul delapan malam tetapi tak tampak mobil bersliweran. Yang ada hanya kesunyian, hawa dingin,  serta dahan-dahan pohon yang basah kuyup disiram hujan petang tadi.

"Tinaah... Di mana kau? Ayo cepat pulang!" ujar salah seorang dari mereka dengan nada yang menguat. 

Rintik-rintik gerimis sisa hujan tadi tak menyurutkan mereka untuk mencari seorang ibu bernama Tinah, serta anaknya yang berusia lima tahun bernama Romi. Keduanya hilang secara misterius beberapa jam yang lalu.

Tepat magrib tadi, Romi dan Kakaknya, Hendra dijemput oleh ibunya saat main di rental Playstation dekat rumah. Saat itu hujan mengguyur deras.  Suara petir bergemuruh menyambar-nyambar langit. Keduanya dipaksa pulang oleh Bu Tinah. 

"Aku tadi jalan duluan di depan. Romi digendong ibu. Sampai di depan kebun dan rumah kosong itu, tiba-tiba aku mendengar seperti teriakan ibu dan Romi bersamaan suara petir. Lalu mereka hilang!" ungkap Hendra kepada semua orang. 

Wajahnya amat ketakutan. Matanya merah sembab tak henti menangisi adik dan ibunya yang kini hilang. Hendra yang baru kelas satu SMP itu tampak menyembunyikan sesuatu. 

"Kok bisa hilang? Ibumu ke mana ndraaa...?" tanya salah satu anggota keluarga yang masih tak percaya mereka hilang. 

"Nggak tahu. Ibu hilang... " timpal Hendra diiringi isak tangis. 

Berbekal keterangan itulah, para tetangga dan beberapa sanak saudara, mencari keduanya dengan memukuli perlengkapan dapur seperti itu.

"Mereka mungkin diculik kolong wewe," ucap neneknya sambil tersedu. 

Nenek memerintahkan orang-orang tadi untuk terus mencari keduanya dengan cara seperti itu. Tampaknya nenek yakin sekali bahwa hilangnya mereka ini karena faktor gaib. Ya, disembunyikan sejenis bangsa jin yang gemar menculik anak. Apalagi jika disangkutpautkan waktu kejadian yang persis magrib itu.     

Orang-orang yang mendengar pendapat itu langsung bergidik. Mereka tak habis pikir kalau Bu Tinah dan Romi hilang diculik Kolong Wewe. 

Rumah tua itu kini jadi sasaran. Sudah bertahun-tahun rumah itu kosong dan terkenal angker. Rumah itu jadi kambing hitam warga. Warga mengamuk meminta Bu Tinah dan Romi segera dibebaskan. Mereka berteriak-teriak sambil terus memukul kentongan di sekitar rumah kosong dan kebun. Garam dapur disebar-sebarkan di sekitar tempat kejadian.

Lebih dari jam delapan malam mereka tak mendapatkan hasil. Tak ada sedikit pun isyarat yang direspon oleh penunggu rumah kosong. Mereka kini kelelahan dan teramat bingung. Wajah-wajah cemas tampak terlihat jelas dari sorotan mata mereka yang masih juga tak percaya Tinah dan Romi hilang. 

Di rumah Bu Tinah, orang-orang terus berdatangan. Mereka turut prihatin atas kejadian itu. Ada salah seorang tetangga yang datang. Ia membawa sebuah sandal jepit. Ya sebuah sandal, bukan sepasang sandal. Sandal jepit itu ditemukannya di sekitar tempat kejadian. Persis di atas trotoar yang berlubang.

"Ini sandal Bu Tinah! Saya yakin sekali. Tadi sore Bu Tinah pakai sandal ini," ujar Bibi. 

Orang-orang semakin heran. Wajah mereka tampak berpikir keras mencoba memecahkan teka-teki hilangnya Tinah dan Romi. 

Kini muncul berbagai spekulasi. Kemungkinan pertama, mereka diculik kolong Wewe. Kemungkinan kedua, mereka tiba-tiba meninggalakan Hendra lalu pergi ke tempat lain entah tempat kerja, rumah saudara, atau ke mana pun itu. Kemungkinan terakhir, mereka terjatuh ke lubang gorong-gorong di trotoar. 

Untuk kemungkinan yang kedua, Bi Emih dan beberapa anggota keluarga sibuk memencet tombol telepon rumah. Mereka berusaha menelepon beberapa bos tempat Bu Tinah biasa bekerja. Kebetulan Bu Tinah adalah seorang tukang pijat dan urut panggilan. Oleh karena itu, satu persatu nomor telepon di buku catatan nomor telepon dicoba. Namun, hasilnya masih tetap nihil. Semua sekarang menjadi abu-abu.

Rumah tampak semakin hiruk pikuk. Orang-orang mondar mandir berdatangan kemudian pergi entah ke mana. Beberapa orang polisi datang menanyakan ihwal hilangnya Bu Tinah. Wartawan media cetak dan elektronik pun tak ketinggalan. Mereka sibuk mencatat kronologi peristiwa sambil mewawancarai keluarga Bu Tinah.

"Boleh saya wawancarai suami Bu Tinah?" tanya seorang wartawan kepada Bi Emih. 

"Bapak tidak ada, Ia sedang di Balaraja," jawab Bi Emih singkat. 

Pak Madih, Suami Bu Tinah justru belum mengetahui adanya kejadian ini. Ia sedang di luar kota. Baru tadi siang ia berangkat untuk berbisnis di sana. Salah satu anggota keluarga, dikirim untuk menjemputnya. Pak Hasan, orang yang diperintah menjemputnya, diwanti-wanti untuk tidak menceritakan kejadian ini. Keluarga takut kalau Pak Madih shock. Biarlah ia mengetahui setelah tiba di rumah. Apalagi perkara ini belum jelas. 

Firasat-firasat buruk menggentayangi orang-orang di rumah. Banyak dari mereka yang menangis, takut kalau hilangnya Bu Tinah dan Romi bukan untuk sementara, tetapi selamanya. Ya Tuhan, ke mana mereka pergi? Berikan kami petunjuk. Demikianlah doa dan harapan orang-orang itu. 

Pak Suma, adik kandung Bu Tinah adalah orang yang lebih realistis. Firasatnya sangat kuat mengatakan bahwa kakak dan kemenakkannya itu mengalami kemungkinan yang ketiga. Jauh sebelum orang berpikir bahwa hilangnya mereka karena Kolong Wewe, Pak Suma sudah sigap turun ke gorong-gorong tepat di dekat tempat kejadian.

Ia sangat yakin keduanya terseret arus mengingat Hendra juga sempat mengatakan bahwa pada waktu kejadian, derasnya hujan membuat jalan tertutup arus air. Melihat ada bagian trotoar yang bolong itu, Pak Suma menduga bahwa keduanya tidak menyadari adanya celah gorong-gorong yang tertutup air. Akibatnya mereka terperosok ke gorong-gorong, lalu terseret arus ke sungai. Ya, ampun!

Sejak pukul tujuh tadi pak Suma dengan beraninya menerobos derasnya air gorong-gorong. Ia adalah orang pertama yang nekat melakukan hal itu. Arus kuat sekali menerjang tubuhnya begitu ia menurunkan badannya ke bawah gorong-gorong. Ia pun hampir terseret. Namun, ia tak peduli sekali pun tempatnya berpijak amatlah licin.

Sikap nekatnya itu membuat warga lain bersimpati. Pelan-pelan para bapak dan pemuda mengikuti langkahnya itu. Beberapa orang tampak membantu menyediakan senter dan petromak mengingat kondisi di dalam gorong-gorong sangat pekat. Pencarian pun dimulai!

"Maju terus pak! Di sini tak ada." Suara salah seorang pemuda menggaung di dalam gorong-gorong. Suara itu terdengar samar-samar bercampur suara riak arus air yang menerjang hebat.

Mereka bergerak maju menelusuri arus air mengalir. Gorong-gorong sepanjang setengah kilometer diobrak-abrik warga dan sanak keluarga. Mereka optimis dapat menemukan Bu Tinah di gorong-gorong itu. Mereka bahkan tak memperdulikan nyawa mereka sendiri.

Di tempat lain, nenek dan beberapa anggota keluarga besar yang lain berusaha mencari informasi keberadaan Bu Tinah dan Romi dengan mendatangi orang pintar.

"Gelap, neng. Airnya kaya kecap," ucap Bu Haji, salah seorang orang pintar di kampung ini. Ia terus memandangi wadah baskom berisi air keruh. Sedianya air itu akan dijadikan media untuk mengetahui keberadaan Bu Tinah dan Romi. Kini, air yang semula berwarna bening itu berubah warna menjadi cokelat pekat. Warnanya hampir menyerupai hitam!

Apa maksud dari semua ini? Pikir nenek dan beberapa anggota keluarga mencoba menerjemahkan isyarat-isyarat itu. Bu Haji tak berkata apa-apa kepada mereka. Bibirnya hanya komat-kamit membaca doa dalam bahasa Arab. 

"Sabar aja, neng. Ibu nggak bisa banyak bantu untuk cari tahu. Ibu doakan, insyaallah cepat ketemu." Senyum Bu Haji menenangkan keadaan itu.

Air pekat? Apakah ini isyarat warna air sungai yang keruh itu? Pikir nenek yang sedari tadi berusaha untuk tidak percaya kalau Bu Tinah dan Romi terseret arus. Kata-kata itu terus terngiang-ngiang dalam benak pikirannya yang kacau balau. Rombongan nenek lagi-lagi belum mendapatkan hasil, kecuali petunjuk warna air.

***

Para warga terus bergerombol mendatangi sekitar gorong-gorong yang mengarah ke sungai. Pencarian mereka kini sudah sampai di titik pertemuan antara gorong-gorong dan sungai. Dengan memanfaatkan tali tambang mereka saling berpegangan. Tubuh mereka mulai menggigil begitu terkena angin malam.

Bu Tinah dan Romi belum ditemukan hingga pukul sembilan malam. Kini, semua orang, terutama kaum adam, fokus melakukan pencarian di sepanjang sungai Grogol. Rasanya tak mungkin lagi mencari di gorong-gorong. Kalau pun mereka hanyut, barangkali sudah masuk ke sungai.

Secara masif orang-orang saling terjun ke sungai dengan arus yang teramat deras. Ketinggian normal air hanya 50-80cm, tetapi malam ini sungguh berbeda. Ketinggian air lebih dari satu setengah meter sejak hujan deras petang tadi.

Tali tambang rupanya tak banyak membantu. Beberapa warga tampak kesulitan berenang. Ada yang menyelam, ada yang merogoh pinggir sungai dengan tangan, ada pula yang berusaha menyodok-nyodokkan bambu ke kedalaman sungai. Tak ada sepatah kata keluhan pun yang keluar dari mulut mereka, sekali pun mereka tidak dibayar.

Bang Ahmad dan Pak Nadi yang konon memiliki ilmu kebatinan mulai beraksi. Begitu warga bergerak memasuki aliran sungai di tepi pemakaman, Bang Ahmad kemudian mengeluarkan sepuntung rokok. Bersama beberapa orang ia kemudian duduk di tepi sungai yang mengalir deras. Matanya terpejam, mulutnya bergerak perlahan, seperti orang yang sedang berdzikir. Pak Nadi tidak jauh berbeda. Ia juga khusyuk sekali pun badannya basah kuyup.

Rokok itu kemudian dilemparkan oleh Bang Ahmad ke tengah Sungai. Semua mata terpanah memandangi rokok yang dilempar itu.

Rokok itu tidak tenggelam! Rokok itu malah berdiri tegak seperti pelampung umpan ikan yang biasa digunakan untuk memancing. Di tengah arus sungai yang kuat, rokok itu hanya bergerak perlahan tak goyah sedikit pun.

"Ikuti rokok itu!" perintah pak Nadi kepada orang-orang sembari menunjuk rokok itu.

Beberapa orang tampak geleng-geleng keheranan melihat keanehan ini.

"Sepertinya Bu Tinah dan Romi sudah melintasi kawasan ini," ucap Bang Ahmad kepada orang-orang. Tak ada jawaban, orang-orang hanya mengangguk kemudian melanjutkan pencarian hingga selepas wilayah pemakaman.

Di rumah, suasana duka mulai terasa. Beberapa sanak keluarga terlihat menangis. Mata mereka sembab. Hanya nestapa dan kecemasan yang terungkap dari raut wajahnya. Para Bibi terlihat sibuk menggelar tikar, berinisiatif mengadakan pengajian. Entah surat apa yang mereka baca, tetapi mereka terlihat kompak. Semua mengaji, semua berdoa. Ada yang membaca dengan suara lantang, ada pula yang berucap tetapi sorot matanya terlihat kosong. Mereka terus berharap Bu Tinah dan Romi segera ditemukan.

Dari semua indikator, akhirnya mengerucut pada kemungkinan ketiga. Tetapi mereka tak sanggup membayangkan, tak sanggup menerima kenyataan. Romi, anak yang sedang lucu-lucunya, sangat disayang oleh keluarga. Sedang Bu Tinah adalah tulang punggung keluarga yang utama.

Hendra, sang kakak, kini habis air matanya. Badannya gemetaran. Ia tampak lesu dan nyaris pingsan. Tak sepatah kata pun ia ucapkan. Ada trauma yang tersimpan dalam dirinya. Ia seperti ketakutan. Mungkinkah ia takut akan ayahnya? Ya, Pak Madih ayahnya sekaligus suami Bu Tinah orangnya tegas dalam mendidik anak. Hendra mungkin takut dimarahi atau disalahkan bapaknya lantaran perbuatannya yang main Playstation itu berujung duka. Entahlah.

Pencarian terus berlanjut. Gerombolan warga yang kebanyakan laki-laki itu memenuhi sepanjang aliran sungai di sekitar kompleks perumahan Cinere. Tujuan mereka sama, mencari hilangnya Bu Tinah dan Romi. Tepi sungai pun semakin ramai. Penempatan sungai yang dihimpit oleh bangunan kompleks perumahan sungguh menyulitkan usaha pencarian. Sudah hampir dua kilometer warga melakukan pencarian tetapi belum ada tanda-tanda yang menunjukan keberadaan mereka.

Lebih dari pukul sebelas malam, beberapa orang tampak kepayahan. Mereka seperti kehabisan tenaga. Mereka tak sanggup lagi untuk menyelam dan berenang di arus kuat seperti itu. Untung saja, selalu ada orang-orang baru yang berdatangan. Mereka rela untuk bergantian.

"Sebelah situ, bang. Coba cari di pinggiran," teriak salah seorang warga menyerukan pencarian.

Sangat sulit mencari jarum di atas tumpukan jerami. Mereka benar-benar mengandalkan intuisi di tengah kegelapan malam dengan sedikit penerangan itu. Kini, mereka hanya berharap belas kasihan tuhan, agar rela menunjukan jalan.

Hanyutan sampah yang bertubi-tubi sungguh menyusahkan mereka. Apalagi sampah dahan-dahan pohon yang besar, sangat menghambat pergerakan.

Pak Suma yang sudah lebih dari empat jam turun ke air, tampak gusar. Dalam keadaan menggigil ia tetap tidak menyerah. Ia terus berusaha untuk menemukan kakaknya itu dengan segera.

Memasuki kawasan kebun yang ditanami pohon palem, Pak Suma merasakan suatu energi yang tidak biasa. Intuisinya sangat kuat untuk segera menemukan keduanya. Perlahan ia mengorek-ngorek sampah-sampah sungai yang terseret di tepian. Ternyata tak ada apa-apa di sana. Rasanya hampir kecewa. Itu juga yang tampak dari raut wajah beberapa bapak-bapak yang turun ke sungai. Payah sekali rasanya.

"Byuuur..." Pak Suma yang baru naik dari sungai tiba-tiba terjun lagi ke air.

Lagi-lagi ia seperti mendapat panggilan batin yang sangat kuat untuk memeriksa bagian bawah jembatan. Di bawah jembatan yang hanya selebar satu setengah meter dengan panjang tujuh meter itu, tersangkut sampah-sampah plastik dan potongan kayu-kayu yang tidak begitu besar.

Keadaan seperti itu membuat aliran sungai sedikit tersendat menyerupai sebuah bendungan. Pak Suma seperti menemukan sesuatu yang tak biasa. Ya, tatapan matanya seperti menerka-nerka sebuah benda yang kini dipegangnya di dalam air. Benda itu terasa lebih halus, pikirnya. Ini bukan batu. Ini bukan sampah seperti sebelum-sebelumnya.

"DAPAT!!!" Sepatah kata tiba-tiba dilontarkan keras dari bibirnya yang menggigil. Semua mata tertuju padanya. Deg... Degup jantung orang-orang di sekitar itu tiba-tiba saja tersentak. Ketegangan yang luar biasa langsung menyergap mereka.

"Tidak salah lagi, ini lah yang kita cari!" teriak Pak Suma sembari mengangkat sebuah benda yang tersangkut di bawah jembatan.

Orang-orang berlarian menuju tempat teriakan Pak Suma. Mereka kemudian mengerubungi sekitar jembatan itu.

***

Di perjalanan pulang, pak Madih gelisah. Pak Madih yang dijemput pak Hasan turut serta diantarkan oleh keluarga besar dari Balaraja. Kebetulan bisnis pasirnya itu memanfaatkan koneksi dari pihak keluarga di Balaraja. Mereka semua sama gundahnya.

Mereka menggunakan mobil sewaan menuju Cinere. Maklum, hari sudah larut malam, maka tak ada kendaraan. Perjalanan dari Balaraja ke Cinere ini telah memakan waktu 2 jam. Terasa amat cepat dari biasanya. Semua orang yang turut di mobil tampak diam. Sesekali salah seorang dari mereka berusaha menenangkan Pak Madih sembari menghiburnya agar tak terlalu tegang. Pak Madih benar-benar bingung dan serba khawatir. Ia tak tahu apa yang sebenarnya ia hadapi.

Semakin dekat menuju rumah, hatinya semakin resah. Pemandangan yang tak biasa ia dapati ketika mobil semakin mendekat ke kawasan masuk perumahan, tepatnya di Jalan Sibayak. Ia memandang heran orang-orang berkerumun dengan kondisi baju yang basah kuyup. Ada apa ini? Pikirnya dalam hati. Orang-orang itu seperti baru saja beranjak dari sungai.

Perasaan gelisah yang sedari tadi menggelayuti pikirannya kini semakin meluap. Sejak awal Pak Madih memang sudah berfirasat buruk. Ia menduga, ada sesuatu yang amat genting terjadi di keluarganya. Apa mungkin istriku kecelakaan? Pikirnya.

"Sebenarnya ada apa? Jujurlah kalian." Pak Madih bersuara sambil melotot. Matanya sungguh berwarna merah. Sementara tangannya bergerak-gerak tanpa sadar seperti orang linglung.

Pak Hasan ingin menjawab, tetapi mulutnya gelagapan.

"Eee... emmm... gimana ya?" jawab Pak Hasan terbata-bata.

"Jelaskan kepada saya duduk perkara yang sesungguhnya!" Pak Madih kini membentak.

Encup yang duduk di sisi Pak Madih memegangi tangannya. Spontan ia merespon emosi Pak Madih yang sulit dikendalikan.

"Sabar, Pak. Sabar... Sekarang bapak lebih baik tenang dulu." Encup berusaha kembali menurunkan tensi sambil mengelus-elus punggung Pak Madih.

"Iya, tapi kenapa...?" Pak Madih kembali bertanya dengan nada lemah dan bergetar. Matanya yang melotot kemudian kini berkaca-kaca menahan air mata yang tak bisa menetes.

Semua orang yang berada di dalam mobil sangat tegang. Mereka tak tega mengatakan yang sebenarnya kepada Pak Madih.

"Istri dan anak bapak hilang, itulah kabar yang saya terima terakhir. untuk itu saya menjemput bapak." Pak hasan menjawab dengan perasaan takut dan cemas.

Pak Madih diam. Ketegangan itu seperti sirna setelah ia mendengar kata hilang. Matanya menyimpan penuh tanda tanya. Apa maksudnya? Hilang? Aneh sekali, pikirnya.

Tak sempat  lagi ia memikirkan hal itu. Mobil kini sudah menurunkan kecepatannya dan segera memasuki gang depan kediaman Pak Madih.

Beberapa orang yang mondar mandir ke arah rumahnya  di waktu yang tak lazim itu menguatkan firasat buruknya. Ini sudah lebih dari pukul dua dini hari. Mengapa orang-orang berduyun-duyun menuju ke arah rumah saya?

Hatinya tersentak. Tiba-tiba saja ia seperti kehilangan tenaga untuk berdiri dan keluar dari mobil. Degup jantungnya berdetak kencang tak beraturan. Nafasnya memburu.

Encup dan Pak Hasan mencoba merangkulnya untuk berjalan menuju rumah. Keluarga Balaraja yang lain turut di belakang dengan rona wajah yang lemah. Mereka menyimpan tangis yang bisa saja meluap dalam hitungan detik.

Apa yang terjadi? Apa yang terjadi? Apa yang terjadi? Apa yang terjadi? Pertanyaan itu berputar-putar menghantui perasaan Pak Madih. Langkahnya semakin melambat begitu halaman rumah mulai terlihat.

Astaga!!! Sebuah pemandangan yang tak biasa ia dapati di halaman rumahnya. Di sana tampak sanak keluarga dan para tetangga berkerumun. Mereka memakai busana muslim seadanya. Selebihnya orang-orang berpakaian kaus dan celana pendek dalam kondisi basah kuyup seakan menyambut kedatangan Pak Madih. Orang-orang itu tiba-tiba menghentikan bacaan Al-Quran mengetahui Pak madih pulang. Wajah mereka lesu dan menyiratkan perasaan duka.

Ada apa ini? Pertanyaan itu tak sempat terucap begitu matanya tertuju pada halaman rumah nenek. Tampak jelas bentangan kain jarik melilit menutupi sesuatu. Ya, sesuatu yang menuntun firasat buruknya itu.

Pak Madih mempercepat langkahnya dengan setengah berlari sekuat tenaga. Rangkulan Encup terlepas. Ia panik dan tak terkendali lagi. Nafasnya sesenggukan. Langkahnya menuju ke arah bentangan kain jarik itu. Hampir saja beberapa orang ditubruknya. Dengan sigap ia menyingkapkan bentangan kain itu. Didapatinya suatu pemandangan lirih di hadapannya.

DENG............

Jantungnya tiba-tiba melambat selambat-lambatnya. Tak ada daya dan tenaga. Pak Madih terjatuh. Air matanya menetes mengalir di antara pipinya. Ia tak sanggup berucap.

Hanya perih yang tampak dari raut wajahnya begitu ia membuka kain yang menutupi sesosok tubuh yang terbaring bisu. Ya, sosok itu adalah istrinya sendiri. Istri yang paling dicintainya itu kini tak bernyawa, tak bergerak, tak merespon lagi peluk Pak Madih yang hangat itu. Sosok itu telah kaku, dingin, dan membiru.

Pak Madih membendung air matanya. Kesedihan itu sebenarnya tak bisa lagi ia tutupi. Sekali pun tak tampak air mata yang mengalir, sorot matanya sangat dalam seakan merintih dalam diam. Hanya sesak yang menusuk dadanya kuat-kuat.

Suara tangis pecah. Suara tangisan itu keluar dari sanak keluarga yang lain. Mereka tak sanggup melihat Pak Madih meratapi istrinya yang terbujur kaku.

"Bu Tinah baru ditemukan sejam yang lalu di dekat Blok E. Kata Pak Suma, waktu ditemukan badannya masih hangat. Sempat di bawa ke klinik 24 jam tetapi ternyata memang sudah tak bernyawa," bisik salah seorang tetangga memberi penjelasan kepada salah seorang pihak keluarga dari Balaraja.

Pak Madih masih memandang tubuh istrinya yang membengkak dan memar setelah terseret arus selama hampir delapan jam.

Ia kemudian terngiang-ngiang ingatannya waktu siang tadi. Ya, siang tadi ia menemui istri dan anaknya di rumah Bi Emih sekedar untuk pamit berangkat ke Balaraja.

"Mah, Bapak berangkat yaa... Jaga anak kita baik-baik," ujar Pak Madih.

"Iyaa... Bapak juga hati-hati di jalan ya!" sambut Bu Tinah sembari memegang erat tangan Pak Madih seakan itu sebuah isyarat.

"Ciyee... pakai dicium segala. Tumben banget!" ledek Bi Emih melihat Pak Madih mencium kening Bu Tinah. Sungguh pemandangan yang tak biasa, pikirnya.

Ya, ini seperti sasmita yang tak sempat diterjemahkan. Genggaman tangan istrinya itu seakan-akan masih terasa hangat di tangannya. Sungguh berbeda dengan kenyataan yang sekarang ia alami. Genggaman itu tak lagi di sambut istrinya dengan kehangatan. Tangan itu kini dingin dan membeku.

Rasanya semua ini terjadi begitu cepat. Tak dapat dipercaya. Terlalu singkat untuk menyaksikan kenyataan bahwa istrinya tewas terseret arus. Sungguh tak masuk di akal kuasa tuhan ini.

Pak Madih kembali terbayang, siang tadi ia melihat anak bungsunya, Romi yang meminta uang kepadanya untuk membeli sebungkus mie instan. Oh ya, Romi ke mana? Pertanyaan itu memecah seberkas kenangan siang tadi.

Pak Madih yang mulai mereda itu tiba-tiba kembali kalap.

"Romi mana? Romi manaaaa.....?" teriak Pak Madih menghantam kesedihan yang kembali pecah. Pak Madih hanya melihat Hendra, anak sulungnya dengan wajah sembab, tetapi tidak dengan Romi.

Pak Madih meraung-raung gelagapan seakan memaksa semua orang untuk segera menjawab tanyanya itu.

"Romi belum ditemukan." Salah seorang dari kerumunan menjawab pertanyaan itu dengan gugup.

***

Kokok ayam telah berbunyi. Kegelapan telah menyusut berganti menjadi pagi. Suatu pagi yang biasanya diselingi gurauan canda anggota keluarga, kini tak tampak lagi. Hanya ada suara orang-orang mengaji yang terus berkumandang, sejak tadi malam belum berhenti. 

Pagi ini benar-benar terasa berbeda. Beberapa kaum ibu tampak menyiapkan sesuatu. Semua orang sibuk, kecuali sebagian lainnya yang kelelahan dan tak sanggup lagi menahan rasa kantuk. 

"Innalillahi Wa Innailaihi Rajiun." Suara itu terdengar jauh menembus perkampungan. Kabar duka diumumkan lewat pengeras suara beberapa masjid dan mushala. Dalam hitungan menit, warga sekampung berdatangan melayat. Tak pandang usia dan status sosial mereka memenuhi halaman rumah nenek. 

Pak RT, Pak RW, para ulama setempat, bahkan bos-bos langganan pijit Bu Tinah turut serta dalam suasana berkabung. Satu per satu masuk ke balik bentangan kain jarik melongok jenazah Bu Tinah. Ada yang hanya diam, ada yang meneteskan air mata, ada pula yang menjerit-jerit bahkan pingsan. Pagi ini terasa gaduh sekali. 

Aroma stanggi bercampur dupa sangat kuat terhendus di tempat ini. Sesekali wangi daun pandan menyeruak di sekitar ruangan. Wangi itu berasal dari perkumpulan ibu-ibu yang mengiris-iris daun pandan untuk proses pemakaman nanti. Mereka tak banyak bicara, mungkin memendam duka.

Di mana Pak Madih?

Pak Madih mengurung diri. Hanya merenung di dalam rumah. Kadang-kadang sepatah dua patah kata keluar dari mulutnya menjawab pertanyaan orang-orang seadanya. Kata-kata belasungkawa dan dorongan moral orang-orang seperti tak dihiraukannya. Matanya yang merah terlihat kosong memandang. 

Pikirannya benar-benar kacau. Mungkin hatinya telah hancur lebur semenjak kejadian malam tadi. Apalagi jika memikirkan anak bungsu kesayangannya, Romi yang hingga kini belum ditemukan. Sedikit pun ia tak tertidur sepanjang malam hingga pagi.

"Dih, sarapan dulu... ini makanlah." Nenek menyodorkan sepiring nasi beserta laukan.

Pak Madih diam. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Nenek menaruh makanan itu di hadapannya. Berharap mungkin nanti Pak Madih mau makan.

Usai menjalani prosesi memandikan jenazah, mengafankan, dan menshalatkan, pukul sepuluh lebih jenazah dibawa ke pemakaman. Puluhan orang turut mengantarkan saat-saat akhir kembalinya Bu Tinah. Gema tahlil mengiringi langkah mereka.

Setibanya di pemakaman, Isak tangis kembali terdengar begitu jenazah diturunkan ke liang lahat. Terutama perempuan, mereka meneteskan air mata seakan belum ikhlas melepas kepergian Bu Tinah. Pak Madih pun tampak tersedu hanya saja benar-benar tak tampak air matanya.

"Allahu akbar, Allahu akbar...."

Adzan terakhir dikumandangkan di liang lahat. Selanjutnya, orang-orang mulai menguruk lubang itu pelan-pelan dengan tanah. Ditancapkanlah sebuah papan penanda bertuliskan "Ratinah Binti Ratam".

***

Tidak semua orang fokus dalam prosesi pemakaman. Sejak ditemukannya Bu Tinah, pencarian Romi sebenarnya terus berlangsung secara estafet. Mereka tak sepenuhnya lelah. Mungkin masih ada harapan menemukan Romi dalam kondisi hidup, pikir mereka. Oleh karena itu, pencarian harus terus dilakukan agar dapat menolong Romi sekali pun jika nanti ditemukan dengan kondisi kritis.

Areal pencarian semakin panjang mencapai hampir tiga kilometer. Surutnya air sungai sungguh memudahkan mereka. Langit juga terlihat lebih cerah. Mereka tampak lebih mudah menyusuri sungai dalam keadan terang benderang seperti siang ini, jauh berbeda dengan keadaan semalam. 

Kali ini bantuan mulai berdatangan. Sanak keluarga yang jauh ikut turun tangan. Warga kampung di sepanjang aliran sungai ini juga ikut membatu. Kini, ratusan orang telah bergabung dengan satu tujuan yang sama, menemukan Romi!

Sebuah payung ditemukan tersangkut di batu kali. Payung itu dalam kondisi rusak. Jari-jari payung yang terbuat dari besi itu terlihat bengkok dan patah-patah. Sementara itu, kain berbahan parasut yang seharusnya melekat di payung robek tak berbentuk lagi. Namun, payung ini masih dapat dikenali.

"Ini payung mereka, tidak salah lagi," ucap salah seorang anggota keluarga yang ikut melakukan pencarian.

Ini menjadi bukti-bukti tambahan terseretnya mereka ke sungai. Melihat kondisi payung itu yang begitu hancur, terbayang pula di benak pikiran orang-orang bagaimana arus sungai malam tadi mengoyak tubuh keduanya. Ya ampun!

Di rumah, setelah prosesi pemakaman, ketegangan berangsur mereda. Ibu-ibu kini menyiapkan segala kebutuhan untuk acara tahlilan malam nanti. Bapak-bapak jarang terlihat, mereka lebih banyak terjun ke sungai membantu proses pencarian. 

Hendra sudah terlihat lebih tenang. Mungkin karena ia telah tidur selama beberapa jam sejak prosesi pemakaman. Namun, hatinya sungguh berbeda. Rasa bersalah itu selalu menyembul tiba-tiba seakan menghimpit rongga dadanya hingga terasa sesak. Belum lagi terbayang kenyataan pahit yang esok lusa harus ia hadapi. Kenyataan hidup tanpa kasih sayang seorang ibu. Hendra kini seorang piatu. 

Pak Madih yang sejak semalam belum tidur dan belum makan itu terlihat sibuk menerima tamu yang turut berbelasungkawa. Sering kali tamu-tamu itu menepuk-nepuk punggung Pak Madih sambil menghibur.

Ia tidak turun ke sungai. Keluarga melarangnya lantaran takut Pak Madih pingsan. Tenaganya juga belum pulih. Raut wajahnya lesu sekali. Selain karena perkara itu, masih banyak tamu yang datang ingin menemui Pak Madih. Pak Madih harus tetap di rumah.

Langit yang awalnya terang kini tampak berubah kehitaman meski jam baru menunjukan pukul empat sore. Angin yang awalnya sepoi-sepoi juga berubah haluan menjadi kencang. Gemuruh petir dalam sekejap kembali bersahutan. Tetes-tetes hujan menghantam bumi. Sore ini, hujan kembali turun tanpa belas kasihan, padahal upaya pencarian sedang berlangsung. 

Selama dua jam lebih hujan berlangsung amat deras. Sementara ini, pencarian dihentikan menunggu hujan reda. Jika melihat kondisi yang seperti ini, tampaknya tidak ada harapan lagi bagi Romi untuk hidup. Nyawanya pasti telah tiada, pikir orang-orang. Rasa putus asa itu mulai menghantui para bapak-bapak terutama yang belum sempat banyak beristirahat sejak semalam. 

Selepas magrib, di rumah diadakan tahlilan dan doa bersama. Sebagian kaum adam yang lain kembali ke sungai melanjutkan upaya pencarian. Orang-orang kembali menyebar di berbagai titik yang memungkinkan ditemukannya Romi. Titik lama pun kembali diulang. Siapa tahu ada bagian yang luput dari pencarian. 

Air sungai tampak keruh dengan warna cokelat tua. Ketinggian air yang siang tadi sudah cukup surut kini kembali meradang, hampir dua meter di beberapa titik.  Petromak kembali dinyalakan. Senter-senter berdiameter 15 cm ikut menerangi kegelapan malam. Suara jangkrik hadir menemani para pencari. 

"Susah, bang! Airnya lebih deras, saya nggak bisa maju!" ujar salah seorang warga yang mencoba melawan kuatnya arus.

Bambu kembali diarahkan ke kedalaman air sungai. Arus menerjang hebat. Beberapa orang terlihat sulit melangkah di dalam air. Badan mereka kembali terdorong kuatnya arus yang menerjang. Sampah-sampah kembali datang bertubi-tubi. Mereka mulai kesulitan.

Kekuatan ratusan orang di siang hari mengendur menjadi tinggal beberapa puluh saja di malam hari. Jumlah ini menyisakan para pemberani. Mereka yang berani benar-benar tak memperdulikan nyawa mereka sendiri. Jika yang lain hanya merogoh-rogoh tepian, mereka justru sigap berenang ke tengah sungai jika dirasa perlu. Apa mereka tak takut jadi korban berikutnya? Entahlah.

Hingga waktu menunjukan keangkuhannya, Romi tidak juga ditemukan. Dini hari pencarian kembali dihentikan. Mereka benar-benar tak mendapatkan hasil. Mereka hanya mendapatkan rasa lelah yang luar biasa akibat berenang di arus deras. Malam ini, nihil!

***

Malam berganti pagi. Mentari kembali menyambut hari dengan kehangatan dan sepotong semangat baru, semangat untuk segera menemukan Romi. Tak ada isyarat atau petunjuk dari Tuhan yang mengantarkan orang-orang menemukannya. Pagi ini semua orang terlihat lebih kecewa karena tak mendapati Romi, atau setidaknya jasadnya!

Kabar pencarian tadi malam yang tak membuahkan hasil didengar oleh Pak Madih. Mengetahui hal itu, hatinya kembali bergetar menahan kepedihan.

"Romi, anakku... cepatlah pulang!" Doa Pak Madih memelas berharap dan hanya bisa berharap Romi segera ditemukan. Pak Madih tersungkur dalam duka yang mendalam. Pikirannya melayang-layang tak bisa membedakan mana mimpi dan kenyataan.

Terbayanglah sosok Romi yang merengek meminta uang kepada Pak Madih kamis siang.

"Romi nggak mau pakai uang bibi. Maunya pakai uang bapak!" rengek Romi meminta ayahnya membelikan sebungkus mie instan. Romi menarik-narik celana panjang hitam ayahnya.

Selembar uang seribu rupiah diserahkan kepada Romi oleh pak Madih dengan berat hati. Benar-benar tak ada uang lagi di saku celananya, kecuali ongkos ke Balaraja. Bi Emih sebetulnya berniat membelikan Romi mie instan, tetapi Romi menolaknya. Romi terus mendesak kedua orangtuanya yang membelikan.

"Romi... Ayo pakai duit ini aja!" ajak bibi merayu Romi. Romi tetap bersikukuh menggunakan uang ayahnya. Sementara Bu Tinah hanya diam menyadari ia pun tak memegang sepeser uang karena dua hari ini tak ada panggilan pijat.

Bayangan itu menggelayuti pikiran Pak Madih sekarang. Ia benar-benar tak menyadari itu adalah pertemuannya yang terakhir bersama anak kesayangannya. Air mata tiba-tiba begitu saja menggenangi bulu mata Pak Madih. Dadanya kembali sesak menahan kepiluan.

Andai saja Pak Madih tahu itulah yang terakhir, apa pun dan berapa pun yang anaknya minta tentu akan dituruti. Terbayang pula tawa geli Romi saat asik bermain sepeda roda tiga. Seakan semua itu baru saja terjadi. Ya, baru kemarin! Namun takdir apa boleh dikata. Semua sudah terjadi, semua sudah berlalu, semua tak bisa terulang. Kenyataan tetaplah kenyataan bagaimana pun pahitnya.

Suara bisik-bisik anggota keluarga yang lain menyadarkan lamunan Pak Madih.

"Tim SAR batal ikut. Mereka pikir semua jenazah sudah ditemukan! Lihat saja tuh koran!" suara itu terdengar pelan dari sekumpulan paman dan bibi meruntuhkan harapan Pak Madih yang kini nyaris pupus.

"Wah ngawur ini! Kacau sekali berita ini. Ini tidak benar! Ya memang sudah ditemukan, tetapi baru satu. Masih ada satu lagi, Romi!" Emosi beberapa anggota keluarga seperti meledak-ledak tersulut sebuah berita koran dengan judul "Jenazah Korban Kali Grogol Sudah Ditemukan". Emosi itu tampak dilontarkan dengan suara pelan takut didengar Pak Madih.

Pak Madih diam-diam mengetahui hal itu. Hatinya kini mati rasa seakan tak ada harapan dan bantuan yang rela untuk menolongnya menemukan sang buah hati.

"Tidak, pencarian harus tetap dilanjutkan sekali pun tanpa bantuan. Saya yang akan terjun langsung kalau semua orang sudah tak sanggup lagi!" Suara sang paman sayup-sayup kembali terdengar di telinga Pak Madih. Suara itu sedikit melegakkan kerongkongan yang seperti tersedak.

Pencarian kembali dilanjutkan saat matahari sudah bergerak naik membentuk sudut bayangan empat puluh lima derajat. Jumlah orang-orang yang turut melakukan pencarian tak sebanyak kemarin. Entah kemana mereka menghilang. Segenap keluarga dan para tetangga dekat masih berantusias menyambung harapan Pak Madih menemukan anaknya tercinta.

Orang-orang itu kembali terjun bebas di sungai yang tenang. Tak tampak lagi arus kuat seperti semalam. Arus sudah terkendali. Mereka dengan leluasa bergerak di aliran sungai dengan kedalaman rata-rata satu meter. Semangat mereka menggebu-gebu, mengerahkan sepenuh tenaga untuk mendapatkan Romi.

"Sebelah situ sudah, di sini belum!" teriak salah seorang dari mereka meriuhkan suasana sungai. Orang-orang bergeser ke sisi sungai yang belum dijamah itu.

Tak terlalu tampak ketegangan dari raut wajah mereka. Mereka kadang diselingi canda dalam proses pencarian mencairkan suasana. Jauh berebeda dengan apa yang terjadi sebelumnya.

Bau amis air sungai seakan sudah tak mereka pedulikan. Perlakuan berbeda jika salah seorang dari mereka mengendus aroma bangkai.

"Baunya dari sebelah sini nih! Coba kemari!" perintah salah seorang menunjuk tumpukan sampah yang tersangkut bebatuan.

Dengan hati-hati salah seorang warga mengurai tumpukan sampah, berusaha mencari sumber bau busuk itu. Didapatinya seekor tikus yang telah mati. Bangkainya telah dibelatungi. Bau busuk menyeruak membuat orang-orang di sekitar tempat itu hampir muntah. Ya ampun! Mereka pikir...

Hari cepat berganti menjadi petang. Di rumah, orang-orang sibuk menyiapkan acara tahlilan. Ada yang sibuk memasak, ada yang menyiapkan peralatan makan, ada pula yang terlihat bengong-bengong saja.

Usai shalat isya, bapak-bapak yang tak turun ke kali bersama Pak Ustad dan Pak Haji membuka tahlilan. Doa kembali didengungkan, memohon agar Romi dapat segera ditemukan. Mulut mereka berdoa, tetapi tampak ketidakpercayaan akan Romi yang bisa segera pulang. Ada firasat yang tak enak yang tak bisa disampaikan oleh mereka satu persatu.

"Bagaimana pun, ini semua adalah musibah. Musibah datangnya dari Allah swt agar dapat menjadi pelajaran bagi orang di sekitarnya, yaitu kita." Pak Ustad mengingatkan orang-orang.

"Pak Madih harus sabar dan tetap tegar," sambung Pak Ustad kembali sambil menatap Pak Madih memberikan dorongan. Pak Madih hanya mengangguk-angguk.

Tak seperti dua malam terakhir, malam ini langit sungguh bersahabat. Tak terdengar gemuruh petir atau rintik-rintik hujan. Malam ini cuaca cerah!

Di sungai, orang-orang yang tadi siang turun, sudah berganti jadwal. Kini para pemberani kembali turun ke sungai dalam kegelapan. Mata mereka seperti elang yang sudah terbiasa memburu umpan.

"BYUUUR... BYUUUR... BYUUUR... "

Suara Pak Nadi terjun ke sungai disusul beberapa orang yang baru datang. Lokasi mereka semakin jauh ke utara melewati jalan besar, jalan Bukit Cinere, lalu sedikit berkelok mengarah ke pertemuan dua sungai, tempuran Gandul. Ketegangan tiba-tiba saja menyambut orang-orang saat mereka memasuki kawasan tempuran Gandul.

Sejak masa lampau masyarakat di Nusantara mensakralkan pertemuan dua sungai, atau yang disebut tempuran. Menurut kepercayaan kuno, tempuran adalah pusat kekuatan metafisika sehingga seringkali dijadikan tempat bertapa atau semacamnya.

Hawa dingin mengelus kulit tubuh mereka. Dinginnya membuat mereka merinding. Firasat buruk lagi-lagi mereka rasakan. Aroma mistis sangat terasa di lokasi ini. Di sekitar tempat ini hanya ada kebun-kebun pisang yang tak begitu terawat, agak jauh dari perumahan. Suasana di sini benar-benar sunyi-senyap.

"Ada apa ini?"tanya salah seorang warga kepada rekan di sebelahnya.

Rekannya juga tak menjawab hanya memperhatikan orang-orang yang baru saja terjun ke sungai tadi tetapi tiba-tiba beranjak dengan langkah yang tak wajar. Mereka seperti melihat sesuatu. Wajah-wajah heran menyelimuti keadaan itu.

"Deg. Deg... Deg. Deg... Deg. Deg...

Detak jantung mereka begitu terasa. Mata mereka melotot ke arah permukaan sungai, tepat di tempuran itu.

Awalnya samar-samar, tetapi beberapa detik kemudian sesuatu yang menyembul dari sungai itu bergerak meliuk-liuk seperti penari ular.

"Itu buaya!" sentak salah seorang dari mereka dengan suara yang teramat pelan, sambil mengendap-endap di balik semak.

Seekor buaya terlihat berenang dengan tenang di permukaan air. Buaya itu berwarna cokelat keemasan. Hanya kepala dan separuh badannya yang terlihat jelas. Di mana buntutnya? tanya mereka dalam hati.

"Ini bukan sembarang buaya, ini buaya buntung!!!" Bisik itu kembali terdengar samar.

Semua orang ternganga melihat keganjilan ini. Mereka diam. Tak bergerak sedikit pun. Mata mereka terpanah tanpa berkedip.

Buaya itu diam di sekiar percik-percik air yang jatuh dari atas batu.

Tak berapa lama tatapan mereka berubah arah, sedikit ke selatan, sangat dekat dari posisi mereka berdiri. Muncul lagi seekor buaya yang berbeda.

Buaya yang ini bukan buaya buntung. Ekornya terlihat lengkap. Bedanya, buaya ini lebih hitam pekat. Lebih mirip dengan aligator dari sungai amazon. Tentu saja ini bukan aligator. Ya ini buaya normal hanya perawakannya lebih besar dan kelam.

Nafas orang-orang terdengar ngos-ngosan melihat pemandangan yang aneh ini. Mana mungkin ada buaya di lokasi seperti ini. Ini bukan pelosok pedalaman! Ini kota besar!

Para sesepuh kampung yang sedari tadi menahan suara kini memberi kode kepada yang lain untuk menahan diri agar tidak turun ke sungai.

"Kita harus hentikan pencarian malam ini!" perintah sesepuh yang sepertinya lebih dapat memahami isyarat semacam ini. Orang-orang secara perlahan bergerak meninggalkan kawasan tempuran dengan pakaian basah. Mereka menyimpan kecewa karena pencarian lagi-lagi dihentikan.

***

Nestapa, nestapa, dan nestapa yang ditemukan. Pagi ini harapan yang sudah pupus itu benar-benar tak berwujud lagi. Harapan-harapan musnah sejak pencarian semalam dihentikan. Ini sudah lewat tiga malam, tetapi Romi belum juga ditemukan.

"Sudahlah... Romi tak usah dicari kembali. Kalau memang ia ditakdirkan pulang, dengan sendirinya ia akan pulang!" Kalimat itu keluar langsung dari mulut sang kakek yang sejak awal tak banyak bicara, tak banyak berpendapat.

Mendengar kata-kata itu Pak Madih remuk hatinya. Cekungan-cekungan di matanya menghitam lalu meneteskan air mata. Dielapnya segera air mata itu agar tak tampak lagi. Ia jelas tak rela menerima begitu saja hilangnya Romi. Sekali pun hanya jasadnya, ia merasa itu tetap sesuatu yang penting sebagai bukti agar semua ini tidak lagi mengambang. Misteri-misteri ini harus diakhiri. 

Gajah mati meninggalkan gading. Tanpa jenazah, tentu tak ada bukti kematian. Selama itu pula, masih ada harapan untuk hidup dan bertemu kembali, entah di mana, kapan, dan bagaimana caranya. Kalau Romi benar-benar tewas, maka mayatnya harus ditemukan! Pikiran-pikiran itu sungguh menekan syaraf-syaraf Pak Madih.

Keluarga saling berseteru. Ada yang mendukung pernyataan sang kakek, ada pula yang ngotot untuk tetap melakukan pencarian. Bagi sang kakek, kejadian semalam adalah pertanda agar pencarian sebaiknya dihentikan. Bagi yang lain, hal itu tidak bisa diterima. Bagi mereka, Romi harus tetap ditemukan apa pun bentuknya.

Dalam keadaan seperti itu Pak Madih tiba-tiba terjatuh seperti kehilangan tenaga. 

Madih? Madih, kamu kenapa? dengan sigap salah seorang dari mereka menahan tubuh itu jatuh ke lantai rumah. Pak Madih kondisinya melemah! 

Selain karena perseteruan ini, Pak Madih juga belum makan sejak peristiwa kamis malam. Ia benar-benar tak mau makan. Tidur pun demikian, hanya terlihat beberapa jam saja matanya terpejam. Ini lah akibatnya, Pak Madih kini tak sadarkan diri. 

Badannya dibopong kemudian ditidurkan di ruang tengah. Adik perempuannya mengipas-ngipasi Pak Madih. Kakaknya mengambil segelas air putih lalu disodorkan ke mulutnya. Air itu diminumnya dalam keadaan setengah sadar. 

Pak Madih mengawang-awang. Lagi-lagi pikirannya melayang terbayang sosok Romi dalam berbagai situasi. Lalu gelap, lalu padam.

Perseteruan mereda setelah Pak Madih tak sadarkan diri. Keputusan belum diambil secara bulat. Namun sejak pagi hingga mentari melewati titik tertingginya, tak ada seorang pun yang melakukan upaya pencarian Romi di sungai. 

Sayup-sayup mata itu perlahan membuka sekitar pukul setengah tiga. Pak Madih terbangun dari dunia bawah sadarnya. Ia mengangkat tubuhnya lalu duduk metap lurus dengan pandangan jauh ke depan.

"Saya ikhlas. Ya, saya ikhlas bila Romi memang benar-benar telah pergi."

Kata-kata itu terucap dari mulut Pak Madih di saat-saat terakhir perjuangannya. Harapannya yang menggebu-gebu berubah sikap pasrah menerima segala kenyataan dan takdir Tuhan. Kata-kata itu menyihir semua orang yang ada di situ. Tanpa ragu, mereka semua mengikuti sikap itu.

"Kalau memang sudah ikhlas, yaa.. kami juga pasrah. Hanya kuasa tuhan yang dengan mudah mengatur umatnya sedemikian rencana," ucap salah seorang paman menguatkan tekad pasrahnya itu.

Dalam suasana yang begitu tenang itu, tiba-tiba terdengar suara dari depan pintu rumah.

"Assalamu'alaikum..."

Seorang tamu tak diundang datang memecahkan ketenangan. Semua mata tertuju pada tamu yang tak diundang.

"Walaikumsalam," jawab orang-orang dari dalam rumah.

Ternyata orang itu tidak sendirian, tetapi bersama rekannya menggunakan sepeda motor." 

"Selamat siang, pak! Kami menemukan mayat di sungai Grogol, di daerah Pondok Labu. Barangkali itu jenazah yang bapak-ibu cari. Untuk itu kami mohon kesediaan beberapa orang anggota keluarga untuk memastikan apakah benar jenazah itu adalah saudara Romi yang bapak dan ibu cari."

Seluruh keluarga menyambut kabar itu dengan suka duka. Sukanya, karena sikap pasrah itu kini membuahkan hasil. Dukanya, tentu saja kenyataan bahwa Romi benar-benar telah tiada. Kedua perasaan itu bercampur aduk tak karuan sebelum ada kepastian mayat yang ditemukan itu benar-benar Romi.

Jam empat sore Pak Hasan dan beberapa anggota keluarga memastikan mayat itu di lokasi penemuan, sekitar 6 kilometer dari rumah. Mayat itu terlihat membengkak. Kulitnya menghitam. Aroma bangkai jelas menyengat tercium dari hidung. Mayat itu telah kaku dan membatu dengan posisi tubuh seperti merangkul. 

"Benar, Pak! Ini kemenakan saya, Romi," ucap pak hasan dengan nada tegas dan meyakinkan. Sekali pun tak tampak lagi ciri fisiknya secara jelas, firasat Pak Hasan bahwa sosok kaku itu adalah kemenakkannya sangatlah kuat. Dari posisi tubuh mayat yang ditemukan tergambar jelas bahwa hingga akhir hayatnya Bu Tinah begitu erat memeluk Romi, begitu pun sebaliknya. Pelukan itu seakan baru lepas setelah tak ada lagi nyawa keduanya. Dan akhirnya, pelukan itu terlepas dihantam arus yang mengganas. Jelas sekali.

Polisi memutuskan untuk membawa jenazah ke rumah duka tanpa melakukan proses visum maupun tes DNA melihat keyakinan Pak Hasan itu. Jenazah disambut dengan pecah tangis oleh keluarga di rumah. Tanpa menjalani proses pemandian, mengingat kondisi tubuh yang sudah tak memungkinkan, jenazah kemudian dikafankan kemudian disholatkan.

Proses pemakaman berlangsung pada malam hari disambut hujan yang kembali mendera seperti ketika nyawanya tiada, tepat tiga malam yang lalu. 

***

Demikianlah cerita itu masih membekas selama tiga belas tahun. Hendra berhenti menatapi lembaran-lembaran kliping itu. Ya, kliping koran yang memuat artikel peristiwa 19-22 Mei tahun 2000 itu kemudian diberesinya kembali. Kliping itu lalu dimasukan ke dalam lemari untuk kemudian digitong bersama ayahnya dan di naikkan ke atas truk. Barang-barang itu akan segera menempati tempat yang baru, rumah baru. Meninggalkan rumah lama yang menyimpan sejuta kenangan manis dan pahit itu. 

KISAH NYATA
Sorang ibu bernama Ratinah dan anaknya bernama lengkap Romi Maulana tewas terseret arus pada hari Kamis malam Jumat tanggal 19 Mei 2000 pukul 18.30 di gorong-gorong maut perumahan Graha Cinere. Peristiwa ini terjadi akibat bolongnya gorong-gorong trotoar yang didukung hujan deras selama dua jam. Ratinah ditemukan di sungai Grogol kawasan Blok E Cinere Estate setelah melalui proses pencarian selama 4 jam. Setelah melakukan pencarian selama tiga hari tiga malam pencarian keduanya dihentikan. Hingga akhirnya pada hari Minggu, 22 Mei 2000 siang pukul 13.00 jenazah Romi ditemukan di Jalan H. Kamang Bawah, Pondok Labu, Jakarta Selatan oleh seorang pencari ikan. Baru sekitar pukul 03.00 jenazah dibawa ke rumah duka.  Peristiwa ini sempat menarik perhatian media cetak dan elektronik hingga dimuat di headline surat kabar nasional. Pihak keluarga menganggap peristiwa ini murni musibah setelah menerima santunan dari pihak PT.Megapolitan sebesar Rp.400.000,00 pada waktu itu. Seminggu pasca kejadian, gorong-gorong di areal perumahan Graha Cinere yang bolong itu kemudian mulai dibenahi. Beberapa tahun kemudian gorong-gorong bolong kembali.

Untuk Ma' Tinah dan Sepupu sekaligus teman bermainku, Romi.
Semoga Tuhan memberikan tempat yang terbaik untukmu di sana.

Comments

Popular posts from this blog

Rute Angkutan Umum di Cinere

Perjalanan Sehari Jakarta - Kawah Putih Naik Motor

Transportasi dari Jakarta ke Pos Pendakian Gunung Sindoro-Sumbing, Wonosobo